Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berlomba Membangun Rumah Tuhan

25 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ulil Abshar-Abdalla
Wakil Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta

KETIKA melewati jalur pantai utara (pantura) Jakarta-Cirebon, teman saya mengeluh karena di sepanjang jalur itu tak kurang dari sepuluh pos didirikan oleh para pemuda tanggung untuk meminta sumbangan pembangunan masjid atau musala. Teman saya ini mengeluh karena praktek-praktek itu sudah makin jauh dari sopan-santun. Pos-pos itu didirikan di tengah jalan. Karena padatnya arus lalu-lintas di jalur itu, tak mustahil timbul kemacetan di sejumlah ruas jalan. Pakaian mereka yang lusuh tidak mencerminkan bahwa mereka adalah panitia pembangunan "rumah Tuhan". Pemandangan serupa kita lihat di sejumlah ruas jalan di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Sejauh ini, belum ada protes keras dari masyarakat kecuali yang pernah saya dengar di Tangerang. Panitia pembangunan itu biasanya akan menjawab, "Siapa yang mau membantu kami kalau tidak dengan cara seperti ini?" Cara seperti itu bahkan mulai ditiru di ruas-ruas jalan sepanjang jalur Semarang-Tuban. Di sebuah desa di sebelah timur Lasem, 100 kilometer ke arah timur Semarang, saya melihat sebuah pos dibangun di tengah jalan, tepat di muka sebuah masjid mewah yang baru setengah selesai. Sementara itu, di kiri-kanannya, terlihat rumah-rumah yang lusuh dan amat sederhana, pertanda bahwa kampung itu bukanlah daerah orang berduit. Setiap kali saya melewati pos semacam itu, saya selalu bertanya dalam hati: kenapa orang begitu bersemangat membangun rumah ibadah? Betulkah itu pertanda bahwa agama bangkit kembali, orang mulai kembali kepada Tuhan, dan kehidupan duniawi disadari makin tidak membawa kebahagiaan sejati? Jawaban yang mengiyakan semua pertanyaan itu belum bisa diberikan saat ini. Sebab, kita juga melihat peristiwa-peristiwa lain yang justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Kalau ada yang disebut sebagai kebangkitan agama, apa makna semua itu di tengah makin meruyaknya korupsi di birokrasi kita? Adakah korupsi itu dilakukan oleh orang-orang lain yang kebetulan belum "sadar agama"? Ataukah kebangkitan agama adalah sesuatu yang sifatnya serba permukaan dan tidak ada kaitannya dengan perbaikan perilaku sosial dalam kehidupan nyata? Apa makna kebangkitan agama di tengah makin meruyaknya kebencian antargolongan agama hingga mengancam kesatuan bangsa Indonesia sekarang ini? Apakah makin tingginya kesadaran agama mempunyai hubungan yang rapat dengan makin tingginya kebencian terhadap kelompok agama lain? Ratusan kali saya melihat tempat ibadah mewah dibangun di kawasan yang serba berkekurangan. Tiap waktu salat tiba, hanya segelintir orang yang berdiri di saf pertama. Sebagian besar dari mereka adalah orang yang sudah mulai uzur atau anak-anak yang sering bikin kenyamanan salat terganggu karena selalu membuat keributan. Semangat membangun rumah ibadah yang begitu menggebu-gebu oleh masyarakat terkadang tidak berbanding lurus dengan semangat mereka meramaikan tempat ibadah itu dengan kegiatan yang bermanfaat buat masyarakat. Ada sejumlah masjid yang ramai dan kegiatannya dikelola oleh anak-anak muda yang cakap dan penuh semangat, seperti Masjid Al Azhar, peninggalan almarhum Buya Hamka, di Kebayoran Baru. Tapi pemandangan seperti itu jarang saya temukan di masjid lain. Saya kira, ada sikap masyarakat yang salah kaprah terhadap pembangunan masjid atau musala. Seolah membangun rumah ibadah sudah merupakan kebajikan yang dinilai tinggi oleh Tuhan. Kalau diurut-urut, ini bermuasal dari sebuah hadis yang sering diulang-ulang oleh anak-anak kecil atau pemuda tanggung yang sering membawa kotak sumbangan di bus-bus kota. Hadis itu mengatakan, "Barang siapa membangun masjid untuk Allah, maka Allah akan membangun buat dia sebuah istana di surga." Karena hadis yang seolah-olah berbau "sayembara" itu, berlomba-lombalah orang membangun masjid. Jarang orang sadar bahwa bangunan fisik masjid hanyalah sarana untuk memakmurkan Islam, bukan tujuan pada dirinya sendiri. Sekarang, masjid sudah menjadi tujuan itu sendiri. Konsepsi sebagian besar umat mengenai tempat ibadah juga masih sering keliru. Masjid, secara harfiah, adalah tempat bersujud kepada Allah. Dengan demikian, pembangunan masjid dikhususkan hanya untuk kegiatan ritual belaka. Upaya membangun masyarakat agar berdaya dan sadar akan hak-haknya, baik secara politik maupun sosial, jarang dianggap sebagai bagian dari kegiatan memakmurkan masjid. Itulah sebabnya sebagian besar khotbah di masjid merupakan repetisi yang makin menjemukan. Saat khotbah biasanya menyenangkan bagi orang kantoran karena mereka bisa mengantuk sebentar untuk beristirahat dari kerutinan kerja. Yang sangat menyedihkan, karena menjamurnya masjid di hampir semua kawasan di Jakarta, akhirnya kebutuhan akan khatib menjadi begitu tinggi. Sementara itu, suplai khatib yang terdidik dengan baik sangatlah rendah. Maka, muncullah khatib-khatib "tiban". Hanya bermodal satu-dua ayat dan beberapa bacaan agama yang dibeli di pinggir jalan Senen, mereka memberanikan diri menjadi khatib. Khatib "tiban" semacam ini sering menyampaikan pemahaman yang salah mengenai Islam. Bahkan, saya curiga, kebencian antar-agama kerap ditularkan melalui khatib dadakan semacam ini. Saya kerap menjumpai khatib yang dengan semangat tinggi menggelorakan jihad melawan orang "kafir" di Ambon. Ketika ia mengutip satu-dua ayat atau hadis, sering keseleo lidah. Saya langsung saja mengambil kesimpulan, "Anak ini pasti tidak belajar Islam dengan baik." Sering diskusi ilmiah dan aksi sosial yang dilakukan dengan penuh dedikasi oleh segelintir orang untuk membangun kesepahaman antara golongan agama dirusak oleh setengah jam khotbah para khatib dadakan ini. Dan ini semua terjadi, salah satunya, karena tidak seimbangnya suplai khatib yang baik dan kebutuhan yang tinggi akan khatib gara-gara menjamurnya tempat ibadah di mana-mana. Tak usah menunggu inisiatif dari pemerintah, saya kira, para ulama dan tokoh agama harus mulai memikirkan masalah ini. Masihkah kita perlu memperbanyak masjid jika kita tak mampu menjaganya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum