Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

'Kali Item' Debat Jalur Sepeda

Perdebatan tentang jalur sepeda sebetulnya bagus dari sudut pandang partisipasi publik dalam pelaksanaan sebuah kebijakan.

29 November 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondisi jalur sepeda sebagai salah satu fasilitas publik di Pulau D atau Pantai Maju, Jakarta Utara, Kamis 21 November 2019. Tempo/Taufiq Siddiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Purwanto Setiadi
Wartawan dan Pengguna Sepeda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perdebatan tentang jalur sepeda sebetulnya bagus dari sudut pandang partisipasi publik dalam pelaksanaan sebuah kebijakan. Tapi, yang sejauh ini terjadi, terutama di media sosial, bukanlah diskusi untuk mencari titik temu. Tak ada percakapan yang berlangsung sehat. Lebih dari itu, karena diseret ke sana-sini, akibat sebagian peserta tak melihat dengan jernih, isu pokoknya cenderung menjadi keruh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum keadaan bertambah buruk, juga supaya orang tak hanya melihat permukaan air yang kelam, kalau mau diibaratkan sebagai Kali Item di Jakarta, ada baiknya segala sesuatunya ditata lagi. Diperlukan penyortiran. Semua isu yang cuma bertindak sebagai "lumpur" yang, karena terus diaduk, menghalangi orang memusatkan perhatian pada isu pokoknya, mesti disingkirkan. Penataan bisa kemudian disusul pengelompokan apa saja yang bisa diidentifikasi dan diurutkan berdasarkan prioritasnya.

Menurut saya, satu hal yang wajib dipungut lebih dulu dan diletakkan di urutan teratas adalah apa muara dari kebijakan pembangunan jalur khusus sepeda ini, terutama di DKI Jakarta. Jawabannya, tak bisa lain kecuali kemacetan yang berkurang, kualitas udara yang lebih baik dan sehat, serta jumlah kecelakaan lalu lintas menurun drastis.

Tentu saja, ada hal lain yang semestinya juga menjadi tujuan, katakanlah terwujudnya kota yang lebih menghargai manusia yang hidup, tinggal, dan menjalani kegiatan di dalamnya ketimbang mesinsebagaimana selama ini berlaku. Tapi hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana ketiga tujuan pokok tersebut mau dicapai.

Cara untuk sampai ke tujuan-tujuan itu bisa berperan sebagai sebuah kategori yang lain. Hal-hal yang bisa ditempatkan dan, kemudian, dilihat dengan saksama di sini adalah desain jalur khusus itu sebagai infrastruktur. Panduan universalnya, berdasarkan pengalaman dari kota-kota di berbagai negara: bagaimana ia memenuhi faktor-faktor keselamatan, kepaduan, kelancaran, kenyamanan, dan daya tarik.

Sebetulnya, jika dikaitkan dengan pengguna sepeda, dan apalagi mereka yang diharapkan mau menggunakan sepeda, kategori kedua itu barulah berkaitan dengan sebagian insentif, yang mungkin bisa mendorong orang meninggalkan kendaraan bermotor pribadinya dan beralih ke sepeda, sekurang-kurangnya ke sarana transportasi umum.

Sebagian yang lain, atau katakanlah yang tergolong di kategori yang lain lagi, adalah fasilitas tambahan dan skema insentif yang menambah daya tarik penggunaan sepeda tapi tak semuanya bisa disediakan oleh pemerintah kota. Ini misalnya tempat parkir, kamar mandi, kemudahan mendapat sepeda melalui subsidi atau potongan pajak, dan tambahan uang makan atau honor untuk setiap kilometer perjalanan ke tempat kerja dengan sepeda.

Untuk ini, di samping komunitas pesepeda, pemerintah kota mesti bisa merangkul sebanyak mungkin gedung perkantoran, perusahaan, dan lembaga, terutama yang jumlah karyawannya besar.

Bersamaan dengan pemberlakuan berbagai insentif itu, diperlukan pula langkah-langkah yang berperan sebagai disinsentif bagi penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Di berbagai kota yang berhasil mengkampanyekan penggunaan sepeda, atau angkutan umum, lazim berlaku ongkos parkir yang tinggi dan area parkir yang makin sempit, juga pembatasan kawasan yang boleh dimasuki kendaraan bermotor pribadi.

Di luar yang disebut di atas, ada juga hal-hal yang kerap dikemukakan dalam perdebatan yang sering sia-sia, di antaranya adalah cuaca atau iklim serta kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Argumentasinya: cuaca atau iklim serta kebiasaan itu tak bisa dibandingkan dengan yang berlaku di kota-kota yang sukses dengan proyek jalur sepedanyakebetulan hampir semua berada di kawasan non-tropis. Menurut saya, jika mau dikategorikan, hal-hal ini adalah poin keberatan tak berdasar yang sudah usang. Sarannya: jangan buang-buang waktu untuk meladeninya.

Dengan pengelompokan tersebut, terlihat jelaslah mana yang patut menjadi alasan untuk mendukung atau menolak program mengintegrasikan sepeda ke dalam mobilitas orang di kota. Dalam hal Jakarta, pemerintah daerah mesti bisa dengan jelas, percaya diri, dan tegas menyampaikan visinya. Jika memang tujuannya adalah kota yang bebas dari kemacetan, polusi, dan kecelakaan yang sebetulnya bisa dielakkan, yang patut dijadikan obyek kritik hanyalah langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan itu.

Purwanto Setiadi

Purwanto Setiadi

Kontributor Tempo, menulis isu-isu lingkungan, transportasi berkelanjutan, dan sesekali ulasan musik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus