A. Tony Prasetiantono *)
*) Staf peneliti di Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEPK) UGM, Yogyakarta
NAIKNYA Megawati menjadi Presiden sekali lagi membuktikan bahwa faktor momentum memainkan peran kunci dalam pergerakan kurs rupiah. Terpilihnya presiden baru menyebabkan rupiah menguat dari Rp 11.300 ke level Rp 9.400 per dolar. Sayangnya, momentum yang amat bagus ("mega-momentum") ini tidak segera diikuti dengan langkah pembentukan kabinet yang cepat. Meski dibungkus dengan alasan "agar kabinet baru tidak gampang gonta-ganti lagi", masa penantian yang lebih dari dua minggu sejak Megawati dilantik menjadi presiden (23 Juli 2001) jelas mengecewakan dan menimbulkan keraguan. Pasar akan menilai bahwa Megawati tidak decisive alias kurang mampu mengambil keputusan yang tegas di saat penting dan mendesak.
Namun, juga tidak adil jika kelambatan ini semata-mata dianggap kesalahan Megawati. Sebab, di sisi lain, para politisi tampak masih mengedepankan kepentingan kelompoknya. Mereka umumnya sangat bersemangat untuk mempromosikan jagonya untuk posisi Menteri Keuangan dan Pemberdayaan BUMN, serta mengklaim kandidatnyalah yang paling jago dan cocok. Padahal, mestinya kita menyadari, sulit mendapatkan sosok yang sedemikian superior untuk jabatan super ini. Ibarat pepatah di dunia persilatan, "di atas langit masih ada langit lagi". Artinya, para elite politik itu seyogianya paham bahwa jagonya hanya salah seorang pendekar yang belum tentu lebih superior dibandingkan dengan pendekar lain yang ada.
Posisi jabatan Menkeu memang sangat super. Dari kursi ini dikendalikan hampir semua aset terpenting bangsa, mulai dari APBN yang volumenya sekitar Rp 250 triliun, aset BPPN yang nilai bukunya Rp 600 triliun—tapi menurut perkiraan BPK nilai riilnya tinggal Rp 167 triliun—sampai sekitar 150 BUMN yang sebagian akan didivestasikan senilai Rp 6,5 triliun tahun ini. Deretan angka ratusan triliun itu tentu saja sangat luar biasa atraktif.
Berdasarkan konfigurasi ini, persoalan portofolio kabinet ekonomi ini dapat dikerucutkan menjadi dua isu sentral. Pertama, Megawati menghadapi kesulitan untuk memilih sosok yang paling tepat yang dapat diterima semua pihak (masyarakat yang diwakili oleh "pasar" dan para politisi di parpol dan parlemen). Dalam keadaan seperti sekarang, harus disadari, tidak mungkin menemukan Menkeu yang bisa diterima semua pihak secara absolut.
Semua calon menteri ekonomi yang beredar dalam wacana publik, mulai dari Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Boediono, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, Laksamana Sukardi, Sri Mulyani, hingga Bambang Sudibyo, tidak satu pun yang superior sendirian. Semua mempunyai sisi plus dan minusnya masing-masing.
Djatun adalah seorang pelobi yang bagus, dia pasti banyak berguna dalam perundingan dengan IMF, Bank Dunia, Paris Club. Boediono unggul dalam hal kemampuan ekonomi makronya. Kwik menonjol dalam kemampuan ekonomi mikro dan integritasnya. Rizal berani kritis terhadap program IMF. Sikap ini diperlukan karena, seperti dikatakan ekonom top Amerika Paul Krugman dan Allan Meltzer, program IMF di negara berkembang sering tidak cocok. Laksamana adalah sosok kalem yang mempunyai kredibilitas dan integritas tinggi. Sri Mulyani mempunyai talenta besar dalam artikulasi. Sedangkan Bambang Sudibyo, dulu dia sempat kedodoran ketika mula-mula menjadi Menkeu, tapi kemudian harus diakui kinerjanya membaik, seiring dengan cepatnya dia belajar.
Jadi, kalau pertimbangannya adalah bagaimana sosok yang paling superior dari sederetan kontestan tersebut, saya khawatir, meski diberi waktu lebih panjang pun, Presiden Megawati tidak akan dapat menemukan kandidat menteri ekonomi yang superior. Bahkan, kalau boleh mengimpor Robert Rubin atau Lawrence Summers, dua Menkeu yang sukses di zaman Presiden Clinton di Amerika sekalipun, belum tentu mampu menjadi Menkeu Indonesia yang bagus.
Semua nama tersebut pada dasarnya sudah memenuhi kriteria "profesional" yang selama ini disyaratkan orang. Apa, sih, yang dimaksud "profesional"? Bagi saya, definisinya sederhana saja. Jika seorang menteri pada hari pertama ditanya apa programnya, dan dia masih menjawab, "Beri saya waktu satu-dua minggu ini, saya akan menginventarisasikan dulu permasalahan dengan para staf saya di kantor", dia jelas tidak profesional. Kita tidak butuh lagi menteri yang masih harus mempelajari bidang tugasnya. Ibarat mobil, menteri baru adalah sopir yang akan menggantikan kedudukan sopir sebelumnya. Celakanya, mobil itu kini sedang berada di jalan tanjakan, dengan persneling satu. Bagaimana mungkin sopir baru ini masih minta waktu untuk belajar menyetir? Jelas tidak ada waktu lagi. Kalau dia masih mau belajar dulu, ya sudah, biarlah dia menjadi penumpang saja.
Kedua, lingkup tugas dan kewenangan jabatan Menkeu kita terlalu besar dan luas, yang akibatnya mengundang banyak peminat. Berdasarkan pertimbangan profesional, tapi juga harus diakui mengandung pragmatisme, sebenarnya cukup urgensi untuk memecah wilayah tugas jabatan ini. Urusan divestasi aset negara, baik yang dikuasai BPPN maupun BUMN, sebenarnya memiliki esensi yang sama. Jika hal ini dapat disatukan dalam satu "payung", dan dilepaskan dari Menkeu, beban persoalan bisa terdistribusi.
Kini masalahnya terpulang pada Megawati dan para elite politik. Semakin tegas Megawati, dan para elite politik menyadari bahwa mereka tidak perlu ngotot berebut, karena tidak ada satu pun sosok menteri ekonomi yang superior seperti superman, momentum bagus ini akan berlanjut. Rupiah akan terus menguat dan bukan mustahil capital flight US$ 30 miliar dapat "mudik" kembali. Itulah awal pemulihan ekonomi yang sebenarnya.
Janganlah "mega-momentum" ini terlepas, karena kita akan sulit menggapainya lagi di kemudian hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini