Asvi Warman Adam *)
*) Sejarawan LIPI
SEBUAH buku sejarah keluaran Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sedang menjadi bahan perdebatan. Di satu pihak, pemerintah AS berusaha menarik kembali peredaran buku yang mengungkapkan peran negara itu dalam penumpasan komunis di Indonesia pada 1965. Sebaliknya, Arsip Keamanan Nasional yang berada dalam lingkungan George Washington University sengaja menaruh satu dari dua volume buku tersebut dalam sebuah situs komputer.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa benarlah apa yang dikatakan oleh sejarawan Prancis, Marc Ferro: sejarah itu bergantung pada dapur (foyer) yang mengolah dan memasaknya. Sejak 1991, ada undang-undang di AS yang menetapkan bahwa setiap volume buku sejarah luar negeri AS haruslah merupakan "rekaman dokumenter yang dalam, akurat, dan dapat dipercaya." Ketentuan itu muncul karena setahun sebelumnya terbit volume tentang kebijakan luar negeri AS mengenai Iran tanpa menyebut kudeta yang didukung AS pada 1953 untuk mengembalikan Syah Iran ke tampuk kekuasaannya. Undang-undang tahun 1991 itu membuat soal dapur sejarah itu tidak menjadi masalah lagi karena siapa pun yang membuatnya harus akurat. Persoalannya sekarang: siapa yang menghidangkannya dan kapan waktu yang tepat? Pihak universitas semata-mata memiliki pertimbangan akademis, sedangkan pihak Departemen Luar Negeri AS dan CIA melihatnya dari kepentingan politis.
Buku tentang penumpasan komunis di Indonesia ditarik kembali karena kini Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden RI. Mungkin pemerintah AS menganggap teks itu dapat mengganggu hubungan baik kedua negara. Dalam dokumen itu memang terlihat peran AS dalam menghancurkan Partai Komunis Indonesia—sebagai partai komunis terbesar nomor tiga di dunia. Dengan tindakan itu, secara tidak langsung, AS juga ambil bagian dalam kejatuhan Sukarno.
Namun, sebetulnya, dugaan itu tidak tepat. Sebab, baik Presiden Megawati maupun Wakil Presiden Hamzah Haz kelihatannya kurang mempedulikan masa lalu. Jangankan untuk peristiwa yang jauh seperti yang terjadi pada 1965, untuk kasus 27 Juli 1996 saja Megawati terlihat kurang responsif. Padahal, naiknya pamor Mega dan partainya justru terjadi karena kantornya diserbu dengan cara khas Orde Baru. Dalam soal ini, Taufiq Kiemas, suami Megawati, mengatakan bahwa istrinya tidak memiliki rasa dendam. Memang rasa dendam tak perlu disimpan, tapi masa lalu tetap harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Memaafkan boleh, tapi jangan melupakan.
Hamzah Haz, yang kabarnya memperoleh gelar doktor dari American World University, memiliki persepsi sejarah yang mewakili pandangan kalangan awam. "Kita jangan menjelek-jelekkan Orde Baru saja, karena Orde Baru lahir karena Orde Lama menyimpang dari perjuangan dan komunis hampir saja menguasai negara kita," katanya (KR, 29 Juli 2001). Ini sebuah kalimat yang terdapat dalam buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah, yang hanya mengacu pada permulaan Orde Baru tahun 1965/1966. Padahal, sesungguhnya, rezim ini memerintah sedemikian panjang dan justru makin menyimpang saat memasuki tahap terakhir.
Buku yang ditarik itu mengungkapkan juga pembantaian pada 1965 yang selama ini ditutup-tutupi di Tanah Air. Korban yang jatuh sampai sejuta orang, demikian disebut dalam sebuah dokumen. Angka yang dikemukakan oleh tim pencari fakta yang dibentuk pemerintahan Soeharto setelah peristiwa itu menyebut 78 ribu orang, sedangkan angka tertinggi sampai 3 juta. Dengan menjumlahkan angka yang terdapat dalam 39 artikel sebagaimana tercantum dalam buku Robert Cribb, diperoleh angka rata-rata sekitar 450 ribu. Bilangan sekitar setengah juta itu dianggap cukup moderat untuk menunjukkan bahwa ini adalah pembantaian yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Dari penjelasan di atas terlihat adanya perbenturan antara kesadaran sejarah dan kepentingan politik. Bagi George Washington University, arsip itu harus dibuka karena sudah lewat tenggang waktu 30 tahun. Masyarakat AS sendiri seharusnya berhak tahu tentang politik luar negeri yang dijalankan pemerintahnya pada masa lalu secara lengkap; demikian pula pengamat dari luar. Di pihak lain, dari kacamata Departemen Luar Negeri AS dan CIA, kepentingan politik aktual lebih utama. Untunglah, dalam kasus ini, pihak universitas tidak bisa didikte begitu saja oleh pemerintah.
Di Indonesia, pada masa Orde Baru, kepentingan politik itu sangat menonjol sehingga sejarah harus ditulis sesuai dengan versi resmi pemerintah. Kesadaran sejarah, baik di kalangan masyarakat maupun pemerintah, sangat rendah. Ada satu-dua resistansi terhadap represi sejarah ini, tapi dengan mudah dapat dipatahkan melalui pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung.
Bila kita menengok ke beberapa negara lain, keadaannya tak jauh berbeda. Di Cina dan terutama Korea Selatan, sejarah Perang Dunia II masih dianggap peka. Masyarakat Korea Selatan mengkritik buku sejarah yang terbit di Jepang yang membenarkan penyerbuan dan pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II. Jelas kesadaran sejarah di situ sedikit-banyak berbaur dengan kepentingan politik juga.
Sedangkan di Indonesia, tampaknya, pemerintah berusaha mencoba memisahkan sejarah dengan politik, sejauh itu berhubungan dengan negara asing. Pemerintah Indonesia tidak pernah menuntut Westerling, seorang warga negara Belanda yang sekarang sudah meninggal, yang telah membunuh ribuan orang di Sulawesi setelah Indonesia merdeka. Departemen Penerangan semasa Soeharto menjadi presiden juga pernah melarang peredaran film Romusha, yang dianggap dapat membangkitkan kebencian terhadap Jepang. Usaha untuk memperjuangkan nasib jugun ianfu (wanita yang dipekerjakan Jepang untuk memuaskan kebutuhan seksual serdadunya selama perang Pasifik) bukan dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh LSM.
Dari kasus penarikan buku penumpasan komunis di Indonesia di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran sejarah di kalangan masyarakat di AS sudah sangat tinggi. Maka, ketika terjadi intervensi politik oleh pemerintah, muncul segera penolakan dari kalangan akademis. Di Indonesia, kesadaran sejarah itu masih minim, termasuk di kalangan pemimpin nasional. Yang menonjol hanya kepentingan politik (itu pun kadang-kadang bercampur dengan interest pribadi). Maka, tak aneh, bangsa kita pun akan tetap berjalan tertatih-tatih ke depan dengan memikul beban berat sejarah masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini