Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH Nurmahmudi Ismail melawan keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menganulir kemenangannya sebagai Wali Kota Depok sudah benar. Bekas menteri dari Partai Keadilan Sejahtera ini tidak menggunakan aksi demo yang anarkistis, yang biasanya berujung pada perusakan, tapi memilih berjuang meniti jalur hukum. Tindakan yang patut mendapat pujian.
Apalagi, putusan Pengadilan Tinggi pada 4 Agustus lalu itu memang mengejutkan banyak orang, bahkan membuat berang pendukung Nurmahmudi, terutama para kader PKS yang yakin putusan itu didasarkan semata-mata pada asumsi-asumsi yang lalu dijadikan bukti. Artinya, bukan berlandaskan bukti-bukti nyata yang diperoleh di lapangan, misalnya yang dikumpulkan oleh Panitia Pemungutan Suara.
Asumsi itu, misalnya, menyangkut suara sebanyak sekitar 60 ribu pemilih. Menurut pihak Badrul Kamal, calon wali kota yang kalah dan kemudian menggugat KPUD Depok, angka itu adalah jumlah massanya yang dihalang-halangi hak pilihnya. Dengan asumsi suara itu milik Badrul, Pengadilan Tinggi kemudian menambahkan 60 ribu suara itu ke perolehan suara Badrul. Ini perhitungan dan sekaligus putusan yang aneh. Akibatnya, suara Nurmahmudi menciut dan Badrul pun dinyatakan sebagai pemenang. Putusan dengan berdasarkan asumsi seperti inilah yang disesalkan PKS dan KPUD Kota Depok, pihak yang digugat Badrul.
Selain itu, kubu Nurmahmudi juga mempersoalkan putusan Pengadilan Tinggi yang dikeluarkan lewat dari 14 hari. Badrul Kamal memasukkan gugatannya pada 12 Juli dan Pengadilan Tinggi memutus perkara ini pada 4 Agustus; berarti tenggang waktu sudah lewat 14 hari. Ini dinilai cacat hukum karena, menurut Pasal 106 (ayat 4) UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, putusan sengketa pilkada tidak boleh lebih dari 14 hari.
Putusan yang dinilai cacat hukum inilah yang digugat PKS. Partai yang dikenal tertib dan santun itu lalu menunjukkan ”kelasnya” dalam menanggapi putusan hakim. Mereka tidak melakukan unjuk rasa besar-besaran atau merusak sejumlah kantor seperti yang dilakukan pendukung partai lain di sejumlah kota, melainkan memilih cara damai—melakukan demo simpatik dengan membagi-bagi kembang serta menggugat lewat jalur hukum.
Pekan lalu, misalnya, mereka mendatangi Komisi Yudisial, mengadukan kasus yang mereka alami ini. Mereka meminta komisi yang beranggota tujuh orang itu memeriksa para hakim Pengadilan Tinggi tersebut. Di sisi lain, KPUD Kota Depok juga mengajukan memori kasasi ke MA dan memintanya membatalkan putusan Pengadilan Tinggi.
MA sendiri sudah membentuk tim panel yang diketuai oleh Hakim Agung Paulus E. Lotulung untuk memeriksa kasus ini. Sejumlah rekomendasi hasil kerja tim ini bahkan, kabarnya, sudah diserahkan kepada Ketua MA Bagir Manan.
Majalah ini berharap MA dapat menyelesaikan kasus ini dengan segera. Apa pun putusan yang dikeluarkan MA, semua pihak harus menghormati. Jikapun MA mengalami kesulitan dalam memutus kasus ini, tak ada salahnya sebuah alternatif lain dicoba: pilkada ulang. Bukankah pemilihan seorang wali kota lebih baik dilakukan lewat pengumpulan suara ketimbang ketukan palu majelis hakim?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo