Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ada Bom di Kejaksaan Agung; Kok, Bisa?

Bila Kejaksaan Agung yang punya lembaga intelijen kebobolan, lalu bagaimana dengan institusi yang lain?

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJAKSAAN Agung mengabaikan kiat dokter: lebih baik mencegah daripada mengobati. Tapi, okelah, telanjur bom meledak. Dan bom yang lebih dahsyat, untunglah, ditemukan sebelum memorak-porandakan kantor Marzuki Darusman itu.

Tapi sulitkah mencegah itu?

Pertama, Kejaksaan Agung pernah kebobolan di zaman Andi Ghalib. Percakapan Jaksa Agung dengan Presiden (B.J. Habibie) ternyata disadap, dan ada media yang kemudian mentranskripnya, memublikasikannya.

Waktu itu orang tak serius mempersoalkan keamanan Kejaksaan Agung karena—teoretis—penyadapan itu bisa dilakukan dari luar gedung itu. Tapi, sebagai lembaga yang punya pejabat yang disebut Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, tentunya sejak itu kerja intelijen ditingkatkan. Dan tentunya lalu juga dijalin kerja sama antarintelijen dengan lembaga pemerintah (termasuk lembaga militer, maksudnya) lain yang mempunyai juga biro atau staf atau apa pun namanya yang berkaitan dengan kerja intelijen. Misalnya Bais, Bakin, Mabes Polri.

Tapi, tiba-tiba, bleeeng…, bom meledak di kamar kecil lantai satu Kejaksaan Agung, pekan lalu. Kita tak paham, begitu mudahkah intelijen kita kebobolan. Tentunya, si pemasang bom punya rencana, termasuk melakukan survei di gedung tersebut di mana dia akan memasang itu bom, hari apa sebaiknya, jam berapa, dan bom jenis apa pula. Tentunya, gerak-gerik si calon pengebom ini tercium oleh dunia intelijen kita (dari mana pun). Bila yang mencium bukan intelijen Kejaksaan Agung, tentunya yang memperoleh informasi ini melakukan kontak dengan intelnya Kejaksaan Agung. Tentunya lalu ada kerja sama, dan tentunya penjagaan di Kejaksaan Agung lebih dicermati.

Tapi, sebelum terlalu banyak "tentunya", baik kita simak wawancara majalah ini dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono (TEMPO 3-9 Juli, halaman 26), yang lengkapnya di-online-kan oleh TEMPO Interaktif. Kata menteri yang juga seorang akademisi ini, sisa-sisa Orde Baru memang masih berusaha tampil. Bukan cuma di level elite politik, di dunia intelijen pun sekarang ini masih terpecah, antara yang bersemangat reformasi dan Orde Baru.

Barangkali itulah jawaban kenapa Kejaksaan Agung dengan mudah kebobolan. Pekerjaan rumah selanjutnya, bagi yang berwenang, adalah bagaimana mengatasi perpecahan intelijen itu agar tak terjadi hal-hal seperti ini—dan siapa tahu konflik di Maluku, kerusuhan di Cilacap, dan sebagainya adalah akibat masih adanya sisa-sisa Orde Baru itu.

Bila tidak segera diatasi, jangan-jangan memang pemerintahan sekarang belum berubah dari yang dulu. Selalu ada yang dikambinghitamkan bila kecolongan. Dulu, kambing hitam itu bernama sisa-sisa DI/TII, lalu sisa-sisa PKI. Politik seperti ini mesti diakhiri, atau kita tak akan pernah bisa bertanggung jawab secara semestinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus