JENDERAL (Polisi) Kunarto, bekas Kapolri dan arsitek proyek komputerisasi STNK, dikenal suka humor. Dengar saja komentarnya ketika membaca berita kenaikan biaya administrasi STNK yang sampai berlipat empat belas kali. ''Saya sendiri kaget, kok, waktu baca koran. Lebih kaget lagi ketika ada yang memberi tahu saya, banyak mobil yang pajaknya lebih rendah dibanding biaya administrasi yang baru. Waduh, masa sih,'' ujar Kunarto dalam wawancara khusus dengan TEMPO pekan lalu. Tentu kali ini dia tak bercanda. Untuk pertama kali sejak proyek komputerisasi dan jaringan informasi Polri disorot tajam, Kunarto mau bicara lagi (lihat Saya Sendiri Kaget). Setelah ''bentrok pendapat'' dengan anggota DPR yang dinilainya tak tahu masalah, Kunarto akhirnya mengirim surat bertinta hijau ke sebuah media Ibu Kota. Isinya, mohon maaf kepada DPR atas pernyataan kerasnya. Proyek kelas berat seharga Rp 310 miliar yang ''diloloskan'' Kunarto ini memang ramai dikritik karena dianggap terlalu membebani rakyat. Tapi Kunarto menangkis isu negatif di seputar dirinya dalam proyek termahal Polri sepanjang Orde Baru itu misalnya soal keterlibatan anaknya. Reaksi masyarakat memang jauh lebih keras ketimbang tahun lalu, ketika proyek komputerisasi surat ijin mengemudi (SIM) digaet PT Citra Permata Persada (lihat Komputer yang Tak Anticalo). Proyek SIM berjalan dengan investasi Rp 90 miliar di tujuh kota besar. Seberapa pun kerasnya reaksi, jaringan komunikasi Polri, antara lain dimanfaatkan untuk STNK, rupanya sudah tak bisa ditawar- tawar. Pengganti Kunarto, Letjen (Polisi) Banurusman, yang belum lagi sebulan dilantik menjadi Kapolri, juga mengumumkan bahwa pemberlakuan tarif STNK baru itu cuma ditunda sementara. Direktur Ditlantas Polri Brigjen Sumarsono menegaskan, ''Pokoknya komputerisasi tetap berjalan, tak bisa ditunda. Tapi Polri tetap memperhatikan saran masyarakat.'' Yang akan diperbaiki adalah klasifikasi tarif STNK. Kelak, tak hanya ada dua tarif STNK seperti rencana semula yakni sepeda motor Rp 25.000 dan mobil Rp 70.000. Tarif baru akan digolongkan menurut jenis kendaraan, ukuran silinder, dan tahun pembuatan. Lonjakan tarif administrasi pembuatan STNK memang membuat jantung melompat. Dari tarif lama untuk mobil sebesar Rp 4.500 langsung meroket jadi Rp 70.000. Tepatnya naik 1.455%. Misalnya, sedan Corolla Limited tahun pembuatan 1990, yang biasanya biaya STNK setiap tahun Rp 392.650, dengan tarif baru nanti akan menjadi Rp 459.400. Masih ada lagi tarif baru yang sebelumnya tak ada, yaitu biaya pendaftaran ulang (her registrasi) kendaraan bermotor (tihat tabel). Kalau jaringan informasi ini berjalan, menurut pihak Mindo, itulah management information system yang terbesar di sini. Ada 245 kantor polres, 17 markas besar polda, dan lebih dari 200 kantor samsat dan satpas yang akan on line dalam satu rangkaian jaringan komputer. Mindo juga masih harus membangun NCC (network control centre) di Mabes Polri. Sedangkan untuk mengintegrasikan seluruh sistem, dipakai jasa satelit. Kabarnya, pihak Mindo akan dibantu Polri dengan memanfaatkan jatah Polri untuk memakai transponder Satelit Palapa jadi tak perlu sewa satelit yang tarifnya US$ 1,4 juta setahun seperti direncanakan Mindo sebelumnya (lihat Lubang Duit Bea Administrasi). Sistem itu juga dituntut untuk on line ke beberapa instansi, seperti Dinas Pendapatan Daerah, Bea Cukai, Jasa Raharja, sampai pengadilan. Belum jelas benar, pada siapa biaya pemasangan jaringan akan dibebankan. Namun, pihak Mindo mengatakan, sudah disiapkan dana operasi sebesar empat kali investasi awal tadi. Kalau angka-angka tadi benar, berarti Mindo punya dana cadangan sekitar Rp 1,5 triliun yang siap dikucurkan ke proyek ini. Kabarnya, dana gede ini didapat dari sindikasi bank, entah bank di mana. Tampaknya, faktor dana inilah yang membuat perusahaan milik Nirwan Bakrie, Sudwikatmono, Aminuzal Amin, dan Sharif C. Sutardjo ini yang terpilih. Grup ini rupanya cukup gesit. Konon, surat persetujuan dari bekas Menteri Keuangan Sumarlin keluar pada 26 Februari lalu, hanya beberapa hari sebelum Sumarlin turun dari kursinya. Menteri Keuangan memang hanya dimintai persetujuan, dan kata akhir ada di tangan Kapolri. Sumber TEMPO di lingkaran dekat Sumarlin menjelaskan, ketika itu di meja Menteri menumpuk surat yang harus ditekennya sebelum meninggalkan kantornya di Lapangan Banteng. Proposal STNK dari Polri, khusus yang menyangkut kenaikan biaya administrasi yang meroket, dikabarkan diberi tanda tanya besar oleh Sumarlin. Toh akhirnya diteken juga pada saat-saat akhir. Apalagi, kata sumber ini, Sumarlin rupanya kewalahan ditelepon terus oleh Sudwikatmono yang ''menanyakan'' soal surat tadi. Sayang, Sudwikatmono belum bisa ditanya ihwal kabar ini. Menurut sebuah sumber, proyek ini sudah dijajaki Nirwan Bakrie dua tahun lalu. Tapi Nirwan belum dapat ditemui untuk mengonfirmasikannya. Sumber TEMPO yang tahu soal kontrak PolriMindo Citra Upaya Duta menerangkan, kontrak ditandatangani pada 9 Desember 1992. Mabes Polri diwakili Brigjen Sonny Harsono, Direktur Lalu Lintas Polri, yang sejak 3 April lalu menjadi Kapolda Kalimantan Selatan-Tengah. Pihak MCUD diwakili Nirwan Bakrie selaku direktur utama. Tapi sebenarnya proses persetujuan MCUD sebagai kontraktor proyek STNK sudah berlangsung sejak September 1992. Sumber TEMPO di MCUD mengatakan, Mindo ikut ''tender'' sejak Februari 1992 dan mengalahkan 17 perusahaan komputer pesaing. Benarkah ada tender? Sebab, ada kritik dari DPR bahwa tender ini sifatnya tertutup, artinya pihak Polri yang mengundang peserta. Sedangkan menurut Keppres Nomor 24 tahun 1984, proyek bernilai di atas Rp 3 miliar, selain harus lewat tender, juga perlu ada persetujuan Menko Ekuin. Jenderal Kunarto punya pandangan lain. Tender di lingkungan militer, katanya, ''Memang tak bisa dibuka di koran seperti proyek pemerintah yang lain. Karena ini kan termasuk proyek ABRI.'' Dari 18 perusahaan yang ikut, kata Kunarto, akhirnya diputuskan ada tiga besar yang kebagian tiga proyek, yaitu STNK, BPKB, dan STCK. Tiga perusahaan itu adalah MCUD, Citra Permata Persada, dan PT Tri Solusco perusahaan yang terakhir ini sampai kini belum dapat diketahui. Dan belum transparan benar bagaimana pembagian proyek di antara ketiganya. Yang bisa diketahui, Mindo- lah yang kebagian porsi terbesar. Menurut sumber TEMPO, PT Platindo Prima Abadi, yang memenangkan tender pembuatan pelat nomor, sempat dipertanyakan asal- usulnya. Karena, sebelumnya, nama Platindo ini tak ada sampai proses seleksi terakhir. Yang jelas, Platindo adalah salah satu anak perusahaan di bawah Nirwan Bakrie. Yang juga menarik disorot adalah kontrak antara MCUD dan Polri. Sumber TEMPO menunjukkan adanya ''kebolongan'' akta perjanjian dan lemahnya pihak Polri dalam urusan STNK itu. Yang paling mencolok, sewaktu akta perjanjian dibuat, surat-surat keputusan Kapolri yang memberi kewenangan pada Sonny Harsono (ketika itu Ditlantas) ternyata masih belum diberi nomor alias kosong. Ini bisa ditafsirkan bahwa dasar persetujuan dalam penunjukan MCUD tak mempunyai landasan hukum yang jelas, meskipun bisa saja SK Kapolri itu dikeluarkan kemudian. Kalau benar SK Kapolri dikeluarkan kemudian, ini juga ganjil, karena seharusnya SK Kapolri tadi menjadi pertimbangan bagi kontrak Polri-Mindo, sehingga seharusnya SK Kapolri tadi sudah berlaku sebelumnya. Namun, Kunarto membantah ada SK kosong ini. Dan Sonny Harsono berkali-kali menolak memberi keterangan kepada TEMPO ketika ditemui di Banjarmasin. Posisi Mindo dalam kerja sama itu memang kuat dan strategis. Salah satu pasal akta menyebutkan, dengan penunjukan Mindo, Polri memberikan hak penuh ke Mindo untuk menunjuk perusahaan lain dalam pelaksanaan komputerisasi STNK. Atas dasar ini, kata sebuah sumber TEMPO, Mindo menunjuk CI Procon untuk pengadaan perangkat keras komputer. Arus uang masuk dari STNK juga melalui Nusa Bank, dan Polri yang diberitakan akan menerima Rp 5.000 dari tiap STNK nantinya akan membuka rekening di Nusa Bank. Baik CI Procon maupun Nusa Bank adalah anak perusahaan Bakrie Group. Tenaga pelatih polisi yang akan mengoperasikan komputer ternyata juga bukan dilakukan oleh Mindo. TEMPO sempat melongok ruang pusat jaringan informasi itu di Mabes Polri. Di sana, orang- orang dari kepolisian tengah dilatih memakai printer canggih oleh tenaga asal perusahaan DataCard yang menjual printer tadi. Ada juga tenaga pelatih dari PT Bauma Informatika. Mindo juga menunjuk Astra Graphia untuk memasang komputer merek DEC. Walhasil, berbagai merk komputer dan alat canggih kini memenuhi Mabes Polri. Dengan semua kecanggihan ini, diharapkan dalam satu jam bisa diselesaikan 600 sampai 900 STNK. Sebab, selama Februari sampai April lalu, di Samsat DKI cuma diurus sekitar 3.900 STNK setiap harinya. Data STNK nanti akan langsung disimpan dan bisa diakses oleh lebih dari 200 kantor Polres di seantero negeri. Persiapan komputerisasi ini sudah pula berjalan. ''Kesiapannya sudah 40 persen,'' kata Mayor Polisi Agus Wantoro, Kasubag STNK Polda Metro Jaya, tempat yang akan pertama kali menjadi proyek percontohan komputerisasi STNK. Hari-hari ini, ada 58 petugas yang dilatih untuk memakai sistem baru. ''Dua jam dalam sehari, staf saya belajar memakai alat-alat baru berupa komputer dan printernya,'' katanya. Bagaimana kalau ternyata proyek ini gagal dan dibatalkan? Ternyata, bagi Mindo, tak terlalu soal. Dalam salah satu butir akta dicantumkan, jika terjadi kerugian PT Mindo selama proses kerja sama ini berlangsung, yang bertanggung jawab adalah Polri. Yang dimaksud kerugian dalam akta di sini sudah termasuk keuntungan yang seharusnya diperoleh PT Mindo jika misalnya proyek batal atau harga-harga material melonjak drastis. Ada lagi pasal yang lebih menguatkan posisi Mindo, umpamanya Polri mengalihkan kerja sama ini ke pihak lain. Disebutkan dalam akta, Polri harus membayar kerugian pada Mindo ditambah dengan ''nilai keuntungan yang seharusnya didapat PT Mindo tapi tak diperoleh karena Polri mengalihkannya ke pihak lain''. Suara keras datang dari DPR. Ada yang mempertanyakan dasar hukum penarikan biaya administrasi dari rakyat ini. Karena, kata mereka, setiap penarikan pajak harus dikonsulktasikan dengan DPR. Dan biaya administrasi STNK ini dianggap pajak. Namun, seperti ditanyakan ahli hukum Lobby Loekman, mengapa kalangan DPR hanya mengeluarkan statemen yang jadi semacam pernyataan pribadi, bukan mengeluarkan hak interpelasi, hak minta keterangan. Sesuai dengan tata tertib, hak interpelasi ini bisa diajukan ke sidang DPR setelah mendapat persetujuan dua fraksi. Jadi, pertanyaan besarnya, siapa yang berhak mengontrol proyek seperti STNK ini kalau DPR ternyata hanya punya sedikit kesempatan untuk bisa bertanya. Menarik dicari jawabnya. Jangan sampai seperti kata pepatah, anggota DPR sibuk memekik, proyek STNK terus berlalu. Toriq Hadad, Iwan Qodar Himawan, Nunik Iswardhani, Ivan Haris, dan Andy Reza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini