Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUGAAN penyebab kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, bulan lalu, seharusnya diumumkan secara transparan—bukan malah ditutup-tutupi. Keterbukaan ini penting sebagai bentuk akuntabilitas pejabat pengelola bandar udara terhadap publik yang ingin tahu apa saja faktor pelecut tragedi yang menewaskan 45 orang itu. Temuan ini juga bisa dipakai buat membenahi sistem penerbangan kita yang masih amburadul.
Indikasi PT Angkasa Pura II hendak merekayasa musabab kecelakaan pesawat komersial itu terlihat pada beberapa hal. Tujuan joy flight disebutkan ke Atang Sendjaja, Bogor. Padahal, berdasarkan flight plan, jet buatan Rusia itu sejatinya hendak terbang menuju langit Pelabuhan Ratu. Keterangan ini tampaknya sengaja dibikin sebagai alasan pembenar agar tak jadi soal ketika pilot diizinkan menurunkan ketinggian.
Keterangan bahwa pilot meninggalkan area latihan tanpa izin juga bisa dianggap sebagai manipulasi. Faktanya, pilot meminta izin dengan mengatakan, "Request orbit to the right." Petugas pemandu lalu lintas udara di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, menyetujui permintaan itu—yang anehnya justru mengarahkan pesawat ke tebing gunung. Semestinya, menurut ahli sistem pengendali lalu lintas udara, sang pemandu yang memantau radar menjawab, "Negative, due to terrain."
Upaya penghalusan fakta agaknya dilakukan secara sistematis. Rapat maraton selama beberapa hari sengaja dirancang buat menyiapkan jawaban yang seragam dan aman untuk dilaporkan ke penyelidik Komite Nasional Keselamatan Transportasi serta media massa. Angkasa Pura berdalih bahwa itu hanyalah rapat evaluasi, yang digelar setiap kali ada kecelakaan udara. Tapi, dari risalah yang kami peroleh, terlihat upaya manajemen korporasi pelat merah ini ingin menimpakan kesalahan hanya pada pilot Sukhoi.
Menyembunyikan fakta ihwal musabab sesungguhnya bencana ini mesti dikecam. Tindakan tak terpuji itu akan mempengaruhi penyelidikan. Padahal investigasi penyebab kecelakaan pesawat bukan untuk mencari siapa yang bersalah secara hukum. Contohnya tabrakan jet Tupolev 154M, Bashkirian Airlines, dan pesawat cargo Boeing 757-200 milik DHL di atas Uberlingen, Jerman, pada 1 Juli 2002. Bashkirian mengangkut 69 orang terbang dari Moskow menuju Barcelona. DHL dengan pilot dan kopilot melaju dari Bergamo, Italia, menuju Brussel.
Ketidaksesuaian perintah pemandu udara dan instruksi sistem pencegah tabrakan pesawat, traffic collision avoidance system atau TCAS, menjadi salah satu penyebab. Bukannya menjalankan instruksi naik dari TCAS, pilot Bashkirian malah turun sesuai dengan perintah pemandu. Pada saat yang sama, DHL turun mengikuti permintaan sistem pesawat. Walhasil, tabrakan tak bisa dihindari. TCAS kini dikunci agar bekerja otomatis—tidak bisa "dicampuri" pilot. Setiap kali bahaya tabrakan terdeteksi, satu pesawat otomatis turun dan pesawat lain naik.
Tak pernah ada penyebab tunggal kecelakaan pesawat. Dalam tragedi Sukhoi, pilot bisa dianggap memiliki andil karena melakukan manuver pada penerbangan gembira. Tapi kelemahan pemandu juga berperan besar, walau mereka tak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Mereka bekerja dalam banyak keterbatasan yang membuat beban sangat tinggi. Di kantor pengatur udara Cengkareng, seorang pemandu melayani 13-15 pesawat—sesekali bahkan bisa 30—pada saat yang sama.
Semestinya dibuat batasan maksimal beban seorang pemandu. Di Bangkok, seorang petugas melayani paling banyak delapan pesawat, di Singapura 10, dan di Australia 12. Padahal, di negara-negara itu, perangkat navigasinya lebih maju daripada di Indonesia. Pembatasan beban menuntut Angkasa Pura II merekrut petugas baru. Hal ini penting agar para pemandu bisa bergiliran mengikuti pelatihan yang wajib dijalankan setidaknya setahun sekali.
Pelbagai perangkat navigasi juga perlu diperbarui. Radar di Cengkareng sering ngadat. Alat komunikasi pun sering ditembus frekuensi lain sehingga sangat membahayakan penerbangan. Aneka kekisruhan di udara ini dikeluhkan para pilot. Sampai paruh tahun ini, setidaknya 40 laporan dilayangkan perusahaan maskapai ke Angkasa Pura II. Isinya termasuk beberapa kali insiden pesawat yang nyaris bertabrakan akibat kesalahan panduan.
Lalu lintas udara memang tak kasatmata. Tapi bukan berarti perbaikan "jalan maya" ini bisa dinomorduakan. Pembentukan lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia perlu disegerakan. Mengingat pertumbuhan jumlah penerbangan yang sangat tinggi, pemerintah semestinya bergerak cepat. Jika tidak, langit Indonesia akan seperti yang dilukiskan seorang pilot: bak neraka.
berita terkait di halaman 32
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo