Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK pertama kalinya Bank Indonesia diperintahkan memulihkan kembali sebuah bank yang sudah ditutup. Perintah Mahkamah Agung untuk memulihkan Bank Dagang Bali itu tentu saja penting. Ada dua kekuatan hukum yang berhadapan dalam kasus ini. Keputusan Mahkamah Agung yang merupakan produk hukum tertinggi berhadapan dengan independensi dan otoritas bank sentral yang dilindungi oleh undang-undang dan bahkan konstitusi. Tentu Mahkamah Konstitusi perlu diminta menguji dan menengahi problem dua lembaga negara ini.
Urusan ini bermula pada 2004. Bank Dagang Bali ditutup Bank Indonesia karena dinilai tak mampu lagi melakukan kewajibannya. Rasio kecukupan modal (CAR)-nya terus menurun. Sebelumnya, Bank Indonesia meminta pemiliknya segera menambah modal bank tersebut. Alih-alih menggelontorkan uang, pemegang saham Bank Dagang Bali menyatakan tak sanggup menambah modal. Bank Indonesia, yang sebelumnya sudah ”menambal” keuangan bank tersebut sebesar Rp 1,4 triliun, akhirnya membekukan bank yang berdiri di Bali pada 1970 itu.
Pemilik Bank Dagang Bali, I Gusti Made Oka, membawa kasus ini ke pengadilan. Pemegang mayoritas saham Bank Dagang Bali ini menyatakan Bank Indonesia tidak membantu mencairkan dana milik banknya di sejumlah bank. Padahal, jika dana Rp 1,2 triliun itu cair, keuangan Bank Dagang Bali tak bermasalah.
Pengadilan tata usaha negara memenangkan gugatan Oka. Tapi, di tingkat banding, gugatan ini kandas. Kasus ini pun naik ke tingkat kasasi. Menjelang akhir tahun lalu, keluarlah putusan Mahkamah Agung yang menyatakan penutupan oleh Bank Indonesia tak sah dan melanggar hukum. Mahkamah Agung memerintahkan Bank Indonesia memulihkan Bank Dagang Bali seperti kondisi semula.
Sebagai warga negara yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah, Oka berhak membawa kasus ini ke pengadilan. Bahkan, atas dasar putusan Mahkamah Agung, Oka bisa saja menuntut ganti rugi atas penutupan banknya.
Tapi, karena menyangkut institusi Bank Indonesia, putusan Mahkamah Agung sulit dilaksanakan. Sebagai bank sentral, independensi Bank Indonesia tidak saja dilindungi oleh Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Bank Indonesia, tapi juga oleh konstitusi. Undang-undang menegaskan, Bank Indonesia memiliki otoritas dalam menentukan kebijakan perbankan nasional, termasuk pemberian dan pencabutan izin operasi sebuah bank. Di sinilah bisa muncul masalah seandainya Bank Indonesia berkeras tak mengizinkan Bank Dagang Bali beroperasi lagi.
Sebagai lembaga yang berada di negara yang menghormati hukum, disarankan Bank Indonesia patuh dan melaksanakan putusan Mahkamah Agung, yakni menghidupkan kembali Bank Dagang Bali. Bila setelah hak hidupnya diberikan ternyata Bank Dagang Bali tetap tak memenuhi kewajiban dan syarat operasi sebuah bank, itu soal lain. Bank Indonesia bisa mengambil tindakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Bank Indonesia juga bisa membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga yang diberi wewenang menguji undang-undang dan menyelesaikan perselisihan antarlembaga negara, putusan Mahkamah Konstitusi akan menjadi acuan jika kelak terjadi kasus serupa. Putusan Mahkamah Konstitusi bisa menjadi alat ukur sejauh mana ”kekuatan” independensi Bank Indonesia bila berhadapan dengan putusan Mahkamah Agung.
Bank Indonesia juga bisa mengambil pelajaran dari kasus ini. Penutupan bank, apa pun dalihnya, perlu dilakukan secara cermat. Sedikit kekeliruan berpeluang melahirkan masalah baru yang berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo