Marsinah, rakyat kecil itu, memang tak bisa dimungkiri lagi sebagai orang yang telah memperjuangkan nasib rekan-rekan sekerjanya. Di satu sisi, perjuangan yang gigih itu mengantarkan ia menuju kematian yang tragis. Di sisi lain, ia telah melambung menjadi pahlawan. Berbagai pihak seakan berlomba mencari simpati, yakni mengangkat Marsinah menjadi pahlawan para buruh. Mulai dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, disusul SPSI, dan terakhir, sidang Tanwir Muhammadiyah yang ingin mengusulkan Marsinah menjadi pahlawan hak asasi manusia "hanya" karena Marsinah pernah menjadi siswi SMA Muhammadiyah Nganjuk, Jawa Timur. Apakah fenomena ini bukan merupakan "kelatahan" yang, akhirnya, hanya mengalihkan perhatian dari 3 pokok permasalahan sebenarnya? Perbincangan tentang masalah buruh dan perusahaan, dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, sering lebih menyoroti buruh sebagai kaum lemah, dan menempatkan perusahaan sebagai "penguasa" yang harus digugat. Dalam beberapa kondisi, misalnya, tak selamanya perusahaan dalam posisi menguntungkan. Pabrik garmen dan jaket di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, memberhentikan ratusan karyawannya karena dililit utang dan kesulitan mengekspor produknya. Kalau sudah begini, mau apa lagi? Dalam kasus Marsinah, dari penyelidikan, ternyata terungkap bahwa PT CPS memproduksi jam tangan palsu merek terkenal. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Marsinah untuk "menekan" perusahaan menaikkan upah. Di sinilah, saya kira, pangkal persoalannya: kondisi yang sulit. Sering perusahaan tidak mau terbuka mengungkapkan kesulitan yang sedang dialaminya kepada karyawan-karyawannya. Mungkin, hal itu dianggap merusak kredibilitas dan membuka aib perusahaan. Karyawan cenderung dianggap instrumen, sehingga tidak dilibatkan dalam musyawarah. Bila karyawan diajak musyawarah tentang kesulitan perusahaan, agaknya mereka akan memahami dan membantu memecahkan persoalan, minimal tidak menimbulkan masalah baru. Ketiadaan komunikasi, tidak saling memahami, hubungan patron- klien, dan ketertutupan yang dipicu oleh perbedaan upah yang sangat tinggi antara gaji terbesar dan terkecil menimbulkan masalah yang berbuntut panjang dan berlarut-larut. Akhirnya, ribuan pekerja PT CPS keluar dari perusahaan itu. Pemberian gelar pahlawan untuk Marsinah, tanpa diiringi itikad untuk memperbaiki kondisi perburuhan di Indonesia dari semua pihak, tentu tidak akan menutup kemungkinan terjadinya tragedi Marsinah yang lain. Barangkali, kita dituntut untuk meletakkan permasalahan secara proporsional dan tidak terjebak pada simbol-simbol yang mengakibatkan kita kehilangan esensi sebenarnya.M. SYAHRUL FUADYWisma DPR-RI Blok A5/88, Kalibata, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini