Ricuh. Kata itulah yang paling tepat digunakan untuk menilai Kongres Luar Biasa PDI, yang gagal memilih ketua umum untuk periode 1993-1998. Yang menjadi pangkal kericuhan selama ini adalah kepentingan pribadi yang tak bisa bermuara di satu titik, karena semua pihak berkeras dengan latar belakang kepentingan masing-masing. Suasana lima hari berkongres diwarnai bentrokan keras antara dua kepentingan. Penyelenggara kongres, yang terdiri dari para caretaker dan tokoh-tokoh "pendobrak" Kongres IV, terpaku pada sebuah skenario kongres. Sebagai akibatnya, mereka bersikap otoriter untuk mengegolkan nama calon yang telah diplot oleh pembuat skenario lewat mekanisme pencalonan formatur. Di sisi lain, sebagian besar peserta kongres dari utusan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) bersikap konfrontatif, terlihat mewakili kepentingan elite di luar partai. Mereka menolak sistem formatur dan mengupayakan sistem pemungutan suara langsung. Jika itu dilaksanakan, tentu akan menganvaskan calon yang telah diplot oleh elite di luar partai. Sikap utusan dari DPC ini patut diacungi jempol. Mereka datang ke Surabaya tak sekadar ikut beramai-ramai mengaklamasikan sebuah pemilihan yang telah direkayasa. Perjuangan mereka ke Surabaya bukan saja dengan pengorbanan materiil, tapi juga pengorbanan moril akibat "tekanan" dan pesan sponsor dari kiri-kanan. KLB adalah puncak kekecewaan utusan DPC selama ini, yang selalu dijadikan korban permainan politik oleh "badut-badut" partai, sehingga mereka ingin membuktikan bahwa dalam kongres partai aspirasi utusan DPC harus diperhitungkan dan tidak lagi dilecehkan. Figur Megawati Taufiq Kiemas, putri sulung presiden pertama RI, menjadi magnet bagi utusan DPC untuk bersatu menunjukkan potensi arus bawah yang selama ini mandul. Ganjalan demi ganjalan yang menghadang perjalanan Megawati semakin membuat simpati para elite partai dari tingkat Dati II ini untuk berjuang bersama untuk menunjukkan kemandirian sikap politik mereka. Derasnya aliran arus bawah tidak membuat gentar para caretaker memainkan langkah-langkah strategis untuk mengegolkan calon yang telah diplot sekaligus menghadang langkah Megawati. Kewenangan mereka di meja sidang membuat mereka menjadi pemegang kendali permainan. Desakan arus bawah yang muncul dari floor dapat mereka "permainkan" dengan menunda-nunda sidang pokok sehingga kemenangan demi kemenangan yang diraih sebagian besar peserta kongres hanya bersifat kemenangan de facto (moril). Jika kemudian arus bawah menang, itu karena Megawati berani mengklaim dirinya secara de facto sebagai Ketua Umum DPP PDI yang baru, dan klaim mendapat dukungan 256 DPC. Itu dapat diartikan kepada masyarakat tentang lahirnya kekuatan arus bawah di tubuh PDI dan sikap kemandirian sebagian besar elite partai berlambang kepala banteng ini. Tetapi kemenangan moril ini belum memberi kepuasan sempurna karena caretaker "berhasil" menggantung agenda utama KLB tanpa hasil yang jelas (deadlock). Lalu pemecahan permasalahan diserahkan kepada Pemerintah, serupa dengan kejadian Kongres III (1986). Namun, "kemenangan" arus atas ini akan menciptakan suatu kondisi, di mana pengakuan de jure Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI akan muncul melalui musyawarah elite partai. Dan, sang ketua harus mampu dan mau mengakomodasikan "beberapa kepentingan" Pemerintah dan kepentingan kelompok- kelompok intern PDI lainnya. Koalisi seperti ini tentu akan memuaskan elite di luar tubuh PDI, yang khawatir akan membangkitkan paham Soekarnoisme dan paham-paham lain yang pernah tumbuh subur di tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Para elite intern PDI juga khawatir akan kehilangan pengaruh dan kedudukannya karena penyusunan struktur DPP PDI akan tercipta melalui bargaining position antarunsur.SUNU WIDI PURWOKOMahasiswa FH UI Depok, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini