Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LALU lintas di sebagian kota besar Indonesia kacau-balau. Mestinya, ketika diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yang bercita-cita mengobati kekacauan itu, masyarakat akan mendukung penuh. Tapi mengapa justru kecaman publik yang datang bertubi-tubi?
Jawabannya bisa berderet, tapi baiklah kita soroti satu aspek yang amat mendasar: miskinnya sosialisasi. Bahkan di Jakarta, kota dengan jumlah pengguna jalan tertinggi di Indonesia, banyak yang belum tahu bahwa undang-undang itu sudah berlaku sejak Januari 2010. Jelas, kenyataan menyedihkan ini berarti hanya segelintir orang yang memahami isi aturan baru itu.
Jika di Ibu Kota, yang notabene merupakan pusat informasi, masyarakat sudah sedemikian miskin informasi, entah bagaimana di kota-kota kecil di Papua atau Flores, misalnya. Maka sosialiasi perlu direntang seluas-luasnya. Upaya polisi menyebarluaskan aturan ini sejak Juni lalu, dengan hasil masih jauh dari memadai, perlu terus digiatkan.
Sebaiknya upaya pengenalan dilebarkan hingga ke kampung-kampung yang jumlah pengendara motornya sangat tinggi. Polisi dapat melibatkan anggota masyarakat, umpamanya komunitas pengguna motor, yang banyak tersebar di seantero Tanah Air.
Pasal-pasal ketertiban berlalu lintas, baik bagi pengguna sepeda motor maupun kendaraan roda empat, hendaknya diterangkan dengan sistematis, dengan bahasa yang gampang dipahami. Apalagi undang-undang ini memuat pasal yang cukup banyak, yakni 326. Banyak pasal yang perlu mendapat perhatian ”ekstra”, karena berubah sama sekali dari aturan sebelumnya.
Pasal 112 salah satunya. Menurut aturan baru, di perempatan jalan berlampu lalu lintas, pengendara dilarang berbelok langsung ke kiri kecuali rambu menentukan lain. Sedangkan aturan lama bertolak belakang, pengendara boleh belok kiri langsung kecuali rambu mengatur lain. Banyak pengendara bingung dan tertangkap, tapi tak dihukum karena masih dalam tahap sosialisasi. Tapi, sejak Januari ini, pelanggaran ”kecil” itu hukumannya tidaklah kecil: bisa kena kurungan hingga dua bulan atau denda maksimal Rp 500 ribu.
Hati-hati juga menggunakan telepon seluler, menonton televisi atau video, di mobil. Bila polisi menganggap konsentrasi mengemudi Anda terganggu, Anda bisa kena denda Rp 750 ribu. Tak bawa ban cadangan, dongkrak, atau segi tiga pengaman? Bersiaplah untuk masuk penjara sebulan atau bayar denda Rp 250 ribu.
Memang tidak ada jaminan sosialisasi yang gencar serta-merta mendisiplinkan pengguna jalan. Tapi minimal kita paham ada sanksi berat bagi setiap pelanggaran. Sanksi denda penting diinformasikan untuk menerbitkan efek disiplin di jalan raya.
Yang menarik, undang-undang ini tak hanya menghukum pengendara, tapi juga Departemen Pekerjaan Umum sebagai penyelenggara semua jalan kelas nasional. Pemerintah daerah provinsi serta kabupaten bertanggung jawab terhadap jalan di wilayahnya. Bila ada kecelakaan lalu lintas yang dipicu buruknya jalan, dan korbannya meninggal, penyelenggara bisa diancam hukuman kurungan hingga lima tahun atau denda maksimal Rp 120 juta.
Pasal yang jumlahnya lebih dari 300 yang diundangkan pemerintah dan DPR itu diharapkan menjadikan jalan raya di negeri ini lebih ”beradab” dibanding keadaan sekarang. Serangkaian sanksi mestinya mampu mengubah perilaku buruk pengguna jalan. Jika polisi menolak kongkalikong, berhenti ”makan” amplop, ada harapan undang-undang baru ini tak lantas lumpuh menjadi macan kertas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo