Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA akan tampak baik-baik saja jika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menerima dengan legawa keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan peraturan sang Menteri tentang sekolah lima hari kerja--atawa full-day school.
Dengan menggusur peraturan pembantunya yang kontroversial itu, Presiden akan terlihat tanggap terhadap kehendak orang banyak yang merasa terganggu oleh gagasan sekolah lima hari seminggu dan delapan jam setiap hari tersebut. Tak lama lagi akan muncul keputusan Presiden yang mengoreksi sekaligus menyempurnakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 yang prematur itu.
Ternyata Menteri Muhadjir Effendy tidak duduk sendiri dan menyimpannya dalam hati. Dalam suatu konferensi pers, ia mengingatkan sebuah rapat terbatas yang membahas frekuensi dan durasi masa sekolah pada awal Februari lalu--yang dihadiri Presiden dan beberapa menteri. Muhadjir menegaskan, peraturan menteri tak akan lahir dari tangannya tanpa setahu Presiden dalam rapat terbatas itu. Karena tak ada reaksi Istana menyusul pernyataan itu, kami pantas mencurigai kualitas rapat yang mengantar peraturan menteri yang prematur tersebut.
Kesepakatan sekolah lima hari--berbeda dengan enam hari sekolah kini--yang muncul dalam rapat terbatas itu lebih berpihak kepada masyarakat kota besar. Delapan jam di sekolah tentu akan membuat para siswa melupakan hal-hal negatif di lingkungannya. Dan sekolah lima hari ketimbang enam hari kerja akan membuka kesempatan mereka berwisata untuk mengenal Indonesia lebih jauh, bersama keluarga.
Tak bisa disangkal, melihat argumentasi yang mendasari peraturan revolusioner yang bakal berakibat besar bagi kegiatan belajar-mengajar di sekolah itu, terciumlah suasana kota ketimbang desa. Keputusan yang teramat penting lagi berskala nasional itu seharusnya melibatkan lebih banyak wakil dari bermacam komunitas yang hidup di Indonesia, rural dan urban, pusat dan pelosok. Rutinitas yang dijalani seorang anak desa atau madrasah diniyah di pelosok tentu tidak sama dengan kehidupan sehari-hari anak kota.
Jelas, semangat peraturan menteri di atas menganggap sepi keberagaman masalah yang tengah dihadapi siswa, orang tua, dan lingkungannya. Kami menganggap perlu mengangkat persoalan ini bukan hanya karena pemerintah telah mengabaikan proses pengambilan keputusan yang aspiratif terhadap bermacam lingkungan. Kami berpesan supaya pemerintah tidak memutuskan hal yang menyangkut nasib dan masa depan 50 juta siswa di Indonesia itu dengan tergesa-gesa, seraya mengoreksinya setelah muncul kontroversi ramai, kemudian menganggap persoalannya selesai di situ.
Pemerintah cenderung melupakan kesalahannya, bahkan kemudian menganggapnya sebagai keberhasilan dengan alasan mengikuti aspirasi orang banyak. Mentalitas seperti ini membahayakan amanah demokrasi.
Cukup sulit membedakan antara pemerintah yang aspiratif dan yang tak memiliki visi nasional. Dan sungguh tidak tahu malu apabila pemerintah mengubah kebijakan demi mendapatkan dukungan politik di antara para penentang Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 itu. Semoga ini kekhawatiran belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo