Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Aturan Bisnis yang Ketinggalan Kereta

Tak mudah mengatur bisnis keuangan berbasis teknologi informasi. Aturan mainnya sangat berbeda dengan bisnis keuangan konvensional.

3 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sering ketinggalan beberapa langkah di belakang kemajuan bisnis layanan keuangan berbasis teknologi informasi. Beberapa aturan mereka bertabrakan dan tak mengantisipasi kecepatan bisnis di sektor yang disebut financial technology (fintech) ini.

Dulu siapa bisa membayangkan ada perusahaan dapat meminjamkan modal tanpa tatap muka dengan nasabahnya. Kini jumlah perusahaan seperti itu menjamur. Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan, pada triwulan pertama 2016, jumlah lembaga fintech sebatas 51 perusahaan. Setahun kemudian, jumlah itu melesat menjadi 135 perusahaan. Variasi layanannya juga sangat luas, dari pinjam-meminjam uang (Investree, Modalku), jual-beli saham (Bareksa), jasa konsultasi, hingga jasa transaksi pembayaran (Go-Pay). Jumlah uang yang beredar di bisnis ini pun menggiurkan, yakni US$ 18,5 miliar (setara dengan Rp 241 triliun).

Tak bisa dihindari, era digital telah "mengacaukan" industri keuangan konvensional--juga industri yang lain, seperti transportasi, media, dan perjalanan. Investree, misalnya, bisa memberikan pinjaman cepat tanpa melalui proses rumit. Di perbankan konvensional, calon debitor harus ditelisik berhari-hari dengan cermat, dari agunan, kemampuan membayar, hingga kredibilitasnya. Bank mesti menerapkan prinsip know your customer yang mengharuskan wawancara tatap muka ketika sang nasabah mengajukan kredit. Proses itu kini semua dipangkas oleh perusahaan rintisan fintech.

Memang tak mudah bagi otoritas keuangan itu mengikuti kecepatan bisnis keuangan berbasis teknologi informasi ini. Bank Indonesia dan OJK harus menjamin praktik perbankan atau lembaga keuangan lain berjalan sesuai dengan aturan. Misalnya, izin mendirikan lembaga keuangan tak sesederhana perusahaan biasa. Calon pemilik dan pengelolanya harus lulus dari uji kemampuan dan kepatutan Otoritas Jasa Keuangan. Permodalan dan pengelolaan dana nasabah juga diatur dengan sejumlah parameter yang sangat kaku.

Itu sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan rintisan fintech ini. Mulanya, mereka menggunakan izin sebagai perusahaan dagang elektronik (e-commerce). Usahanya bermacam-macam, dari dagang kopi, buku, dan barang elektronik; jasa pijat yang sangat sederhana; sampai jasa transaksi pembayaran yang rumit. Lalu mereka belakangan berfokus pada layanan keuangan. Prinsipnya, transaksi harus mudah, murah, dan cepat.

Prinsip-prinsip itu tidak sepenuhnya sejalan seiring dengan bisnis keuangan yang berbasis pada kehati-hatian. Karena itu, sudah tepat jika Bank Indonesia dan OJK ikut mengatur. Kita tidak ingin melihat keruwetan sebagaimana yang terjadi pada bisnis transportasi online akibat tidak tegasnya aturan soal itu. Namun aturan bagi lembaga baru ini pun tak boleh mematikan perusahaan rintisan lantaran mereka juga berjasa mendorong inklusi sektor keuangan. Pemain menjadi lebih banyak dan nasabah pun memiliki pilihan yang lebih beragam.

Yang juga tak boleh dilupakan, perlunya sinkronisasi antara aturan Bank Indonesia tentang penyelenggaraan jasa transaksi pembayaran dan aturan OJK mengenai perusahaan jasa pinjam-meminjam uang. Salah satunya soal kepemilikan saham. Bank Indonesia membatasi kepemilikan asing pada perusahaan jasa transaksi pembayaran maksimal 20 persen. Sebaliknya, OJK memberi peluang asing menguasai perusahaan jasa layanan pinjam-meminjam uang sampai 85 persen.

Perbedaan itu berpotensi menimbulkan masalah. Aturan itu juga akan merepotkan pemain besar, yang kebanyakan disokong asing. Go-Jek, misalnya, yang memiliki layanan transaksi pembayaran Go-Pay, didukung sejumlah perusahaan global, seperti Sequoia, KKR & Co, Warburg Pincus, DST Global, Rakuten Ventures, dan Formation Group. Sebelum menimbulkan dampak yang luas, sebaiknya Bank Indonesia dan OJK segera merevisi aturan-aturan yang ketinggalan kereta. Mereka bisa duduk bersama membicarakan aturan-aturan untuk bisnis baru ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus