Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Imbal Balik Kasus Rizieq

3 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI tak sepatutnya memakai Undang-Undang Pornografi untuk menjerat Rizieq Syihab. Jikapun penyidik mengantongi bukti-bukti percakapan mesumnya dengan Firza Husein, perempuan yang bukan istrinya, polisi tak layak mengejar untuk membawa pemimpin Front Pembela Islam itu ke pengadilan.

Seperti dikritik sebelum aturan itu terbit sembilan tahun lalu, Undang-Undang Pornografi menjamah ranah pribadi yang tak bersangkut-paut dengan urusan publik. Tak ada kewajiban negara menghukum seseorang seperti Rizieq yang diduga meminta orang lain melakukan pornografi, sepanjang hasilnya tak untuk dikonsumsi umum.

Urusan konsumsi publik ini menjadi ruwet karena polisi memakai sumber-sumber sumir untuk mendapatkan bukti-bukti percakapan mesum Rizieq-Firza melalui telepon seluler. Polisi mengaku mendapatkan bukti-bukti itu atas laporan sebuah organisasi dan sebuah web, tapi tak pernah menjelaskan sumber utama percakapan tersebut. Polisi tak pernah mengakui pembicaraan mesum itu disedot dari telepon seluler Firza saat ia ditangkap dengan tuduhan merencanakan makar. Menyedot isi telepon seluler seseorang yang sedang ditelisik urusan pidana lain--betapapun seandainya percakapan itu terjadi--sesungguhnya menyimpan cacat prosedural sehingga pengusutannya mudah dipatahkan.

Maka, tinimbang memakai Undang-Undang Pornografi serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat Rizieq, polisi lebih baik memakai pasal lain. Ada banyak dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Rizieq dan anggota FPI yang acap main hakim sendiri. Video yang berisi ceramah Rizieq untuk membunuh mereka yang berbeda keyakinan sesungguhnya cukup sebagai delik materiil hasutan di muka umum seperti diatur Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hukuman pelanggaran atas pasal ini adalah enam tahun penjara. Penghancuran sarana publik dan kafe-kafe yang dianggap FPI sebagai sarang maksiat merupakan contoh lain. Rizieq sebagai pemimpin tertinggi FPI harus bertanggung jawab.

Menggunakan kasus esek-esek, pemerintah mudah dituding sedang melakukan "kriminalisasi" ulama. Sebaliknya, perlawanan balik dari Rizieq dan kawan-kawan mudah ditafsirkan sebagai upaya mendongkel pemerintah--setidaknya melorotkan pamor Joko Widodo hingga tidak terpilih lagi pada Pemilihan Umum 2019. Dugaan itu makin kuat karena saat ini Rizieq dibela sederet pengacara dan pemain politik yang dikenal anti-pemerintah Presiden Jokowi.

Suasana saling tekan itu menunjukkan hukum telah menjadi alat transaksi politik. Pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia pada Idul Fitri lalu menerbitkan kasak-kusuk tentang negosiasi politik di antara keduanya. GNPF adalah penggerak demo 411 dan 212 yang diselenggarakan untuk menekan pengadilan agar menghukum Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penistaan agama.

Jokowi selayaknya menolak tegas setiap upaya negosiasi. Seiring dengan itu, ia juga harus memerintahkan polisi tak melanjutkan perkara pornografi, tapi sebaliknya mengusut perkara kekerasan yang jelas-jelas dilakukan FPI. Dengan mengusut perkara kekerasan itu, Presiden sulit dituding tengah mengkriminalkan ulama. Jokowi bahkan akan dibela publik karena berani menegakkan hukum--atas kejahatan yang telah bertahun-tahun dibiarkan saja.

Jokowi tidak boleh mengulang praktik lama tentang pemerintah yang memelihara kelompok vigilante untuk kepentingan politik sesaat. Atas kejahatan-kejahatan kecil, kelompok itu dihukum, meski sesungguhnya mereka dibiarkan besar agar bisa dipakai untuk menyerang lawan politik. Gerombolan berkedok agama, misalnya, sejauh ini kerap dipakai untuk melawan isu bangkitnya komunisme. Kelompok sejenis kerap pula dipakai sebagai perpanjangan tangan aparat dalam mengumpulkan pelbagai pungutan ilegal.

Buang jauh-jauh pikiran untuk "menggantung"--tak melanjutkan, juga tak membatalkan--perkara Rizieq dan sejumlah tokoh agama agar mereka mudah ditekan. Secara politik, "strategi" itu terkesan andal, terutama untuk mengamankan jalan politik Jokowi hingga 2019. Sudah jadi rahasia umum, setelah "menekan" pengadilan agar menghukum Ahok, sasaran pentolan demo 212 adalah mengakhiri masa jabatan Jokowi pada 2019--jika bukan menghentikannya di tengah jalan.

Melanjutkan kepemimpinan adalah hak politik Jokowi. Sebaliknya, merebut kekuasaan merupakan hak politik lawan-lawan Presiden. Demokrasi menyediakan jalan bagi kedua pihak untuk bertarung. Menggunakan hukum sebagai alat politik merupakan pengkhianatan nyata pada hukum itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus