Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Bank Indonesia menutup Bank Global sudah tepat. Namun, masih banyak pertanyaan yang layak diajukan ke Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas perbankan. Bank-bank yang menjalankan praktek buruk ternyata masih cukup banyak. Tahun ini, selain Bank Global, BI membekukan izin Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic. Ditengarai ada sejumlah bank yang bakal rontok.
Ada benang merah dari tiga kasus itu: bank rusak karena perilaku pemiliknya. Manajemen tiga bank itu umumnya bekerja sebagai pengelola dan merangkap sebagai pemilik. Kendali mutlak di tangan pemilik. Yang terjadi adalah ?malapraktek? perbankan karena bank dijalankan seperti layaknya ?warung keluarga?.
Bahkan untuk kasus Bank Global yang sudah masuk bursa pun praktek buruk seperti itu masih saja terjadi. Sebut saja kredit yang disalurkan ke perusahaan fiktif atau masih terkait keluarga, penerbitan surat utang fiktif, pembelian obligasi palsu, sampai penipuan nasabah dengan mengubah deposito menjadi produk reksa dana yang ternyata juga fiktif.
Kepada BI patut ditanyakan mengapa nasabah sering kali terlambat memahami apa yang terjadi pada bank tempat uang mereka ditanamkan. Nasabah baru sadar ketika kondisi bank sudah parah dan mustahil untuk ditolong. Memang, saat ini nasabah bank masih mendapatkan jaminan dari pemerintah. Tapi tidak semua uang nasabah dijamin kembali. Dalam kasus Global, reksa dana yang dimiliki nasabah sebagai konversi dari deposito ternyata tak termasuk yang dijamin BI. Dan jumlahnya tidak kecil, hingga ratusan miliar rupiah.
Jelas terasa fungsi pengawasan BI belum sepenuhnya memadai. Meskipun tragedi perbankan pada 1997-1999 memberi pelajaran pahit, masih saja ada bankir-bankir nakal yang lambat dideteksi oleh Bank Indonesia. Dalam kasus Global memang BI agak kikuk bertindak soal reksa dana yang tidak masuk wilayah pengawasan BI, melainkan masuk wilayah Bapepam. Dengan jam terbang di bidang pengawasan yang sudah puluhan tahun, BI seyogianya memecahkan masalah begini dengan membuka komunikasi yang lebih mulus dengan Bapepam.
Untuk langkah ke depan, mungkin ada baiknya jika Bank Indonesia menerapkan pendaftaran ulang secara berkala sekaligus melakukan cek dan cek ulang tentang perilaku usaha para bankir. Dengan demikian, bank sentral bisa mendeteksi lebih dini perilaku menyimpang para bankir.
Selain itu, yang juga penting adalah perlu dicari mekanisme yang tidak merugikan semua pihak agar nasabah mendapatkan informasi yang cukup mengenai kinerja perbankan. Harus diakui, model yang sekarang?mewajibkan bank membuat laporan keuangan per tiga bulan?tidaklah memadai. Masih banyak nasabah yang tertipu, termasuk lembaga-lembaga keuangan raksasa seperti Jamsostek dan Dana Pensiun Pertamina?semogalah dalam kasus-kasus lembaga keuangan raksasa itu tak ada urusan hanky panky dan sebangsanya.
Ke dalam BI sendiri patutlah kita menyarankan agar pimpinan bank sentral memeriksa kembali aparatnya: adakah yang terlibat dalam urusan buruk ini atau sekadar kelalaian administrasi semata. Logika orang umum: agak sulit sebuah bank bisa menjalankan praktek buruk tanpa ketahuan jika aparat pengawasnya bekerja benar alias tidak ?disuruh pura-pura tak tahu?. Jika pengawas sudah ?disetel?, maka kejahatan jenis apa pun akan membuat mata kabur dan pikiran kosong.
Kalau ini yang terjadi, berarti tragedi perbankan pada akhir dekade 1990-an tidak banyak memberi pelajaran. Ini sungguh berbahaya bagi negara yang baru ?bangun? lagi setelah didera krisis multidimensi bertahun-tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo