Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Karawaci Memborong Medali

Indonesia menjadi juara umum dalam Olimpiade Sains Internasional antarsiswa SMP. Inilah kisah mereka yang meraih medali emas.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN bilik berwarna putih berukuran 1 x 1 meter tampak berjajar rapi di aula Departemen Pendidikan Nasional di Jalan Sudirman, Jakarta. Dalam bilik yang terbuat dari kayu tipis itu diletakkan sebuah meja dan kursi beserta setumpuk kertas, alat tulis, alat hitung, dan beberapa tabung kimia berbagai ukuran. Ratusan remaja belasan tahun tampak duduk tekun dalam bilik-bilik kecil itu. Mereka sedang serius mengerjakan soal-soal.

Stephanie Senna, 14 tahun, yang duduk dalam salah satu bilik kecil, memandang kertas soal dengan riang. "Ah, ini sih tak terlalu sulit," katanya, dalam hati. Segera, siswa SMPK Ipeka Tomang itu meraih alat tulisnya dan mulai mengerjakan ujian eksperimen tentang buah salak yang sudah difermentasi. Beberapa kali tangannya berpindah dari kertas soal, lembar jawaban, alat hitung, hingga tabung-tabung kimia yang ada di mejanya. Dia mesti meninjau buah salak itu dari ilmu fisika, biologi, dan kimia.

Itulah hari terakhir Senna mengikuti International Junior Science Olympiad (IJSO), olimpiade sains antarsiswa sekolah menengah pertama. Dalam ajang yang berlangsung 5 hingga 13 Desember silam, Jakarta menjadi tuan rumah untuk menjamu 181 siswa SMP dari 30 negara. Mereka unjuk kebolehan dalam pelajaran fisika, biologi, dan kimia. Tim Indonesia, yang dipimpin ahli fisika Yohanes Surya, mengirimkan 12 wakilnya, termasuk Senna, untuk berlaga dalam ajang kompetisi ini.

Senna mengaku tak terlalu terbebani ketika mengikuti kompetisi ini. "Aku mengerjakannya sebisaku saja," kata anak pertama dari dua bersaudara ini. Begitu pun ketika ia mengerjakan soal pilihan ganda dan esai tentang sains yang diuji beberapa hari sebelumnya.

Ternyata hasilnya luar biasa. Senna berhasil meraih medali emas plus penghargaan sebagai yang terbaik dalam ujian eksperimen. Tujuh rekannya juga membawa pulang medali emas, dan empat rekan mendapat medali perak. Bahkan Diptarama dari SMP 252 Jakarta mendapat pula penghargaan tambahan: absolute winner. Ini berarti tim Indonesia menjadi juara umum olimpiade sains internasional antarsiswa SMP yang baru pertama kali digelar. Peringkat kedua ditempati Taiwan ( 5 medali emas), disusul Thailand (2 medali emas).

Awalnya, Senna tidak terlalu bersemangat ketika mengikuti seleksi kejuaraan ini. Sebab, ia hanya menyukai pelajaran biologi. Adapun pelajaran fisika dan kimia kurang diminatinya kendati nilainya juga bagus. Toh, ia mengaku gembira setelah meraih emas dan penghargaan khusus. "Aku senang dong, kan tidak banyak orang memperoleh penghargaan seperti ini," katanya riang.

Kecintaannya pada pelajaran biologi sudah tumbuh sejak kecil. "Karena kita bisa belajar tentang makhluk hidup di sekitar kita," kata Senna. Kebetulan pula waktu duduk di kelas 1 SMP, ia memiliki guru biologi yang baik dalam mengajar. Senna pun semakin tekun belajar dan selalu mendapat nilai 9.

Nilai untuk pelajaran kimia dan fisika juga cukup bagus. Karena itulah ia kemudian diutus sekolahnya untuk ikut seleksi pada akhir Januari silam. Saat itu, ahli fisika Yohanes Surya, pencetus ide olimpiade sains internasional tingkat siswa SMP ini, memang mengundang semua siswa SMP terbaik di seluruh negeri. "Syaratnya, nilai fisika, kimia, dan matematikanya minimal 7," kata Yohanes. Ada 13 ribu siswa yang mengikuti proses seleksi.

Senna mengaku tak punya persiapan apa pun, sebab ia baru diberi tahu dua hari sebelum seleksi. Itu pun ia tahunya cuma kejuaraan biologi. Satu hari sebelum seleksi, barulah Senna tahu kalau fisika termasuk salah satu pelajaran yang diuji. "Aku ngamuk-ngamuk karena tidak begitu suka fisika," katanya. Meski begitu, Senna pun membuka buku-buku fisikanya.

Ketika hari ujian tiba, Senna kembali terpana. Dari 60 soal pilihan ganda, 40 di antaranya adalah soal fisika. Sisanya, 20 soal biologi. Kendati kesal, ia tetap mengerjakan soal yang diberikan dengan sebisanya.

Hasilnya di luar dugaan, Senna termasuk salah seorang dari 30 siswa yang berhak mengikuti seleksi tahap berikutnya. "Aku ada di peringkat ke-27," katanya. Selama satu bulan, sejak 9 Februari hingga 8 Maret, mereka diseleksi di Karawaci, Tangerang, Banten, oleh Yohanes Surya dan timnya. Empat pelajaran, yakni fisika, biologi, kimia, dan matematika, diberikan masing-masing selama satu minggu. Setiap akhir pekan, setelah menyelesaikan materi belajarnya, para siswa diberi soal. Hasil jawabannya inilah yang akan menentukan apakah siswa tersebut bisa ikut dalam tim Indonesia dalam IJSO.

Senna mengikuti seleksi masih dengan berat hati. Apalagi, fisika, pelajaran yang kurang disukainya itu, diberikan dalam pekan pertama. "Aku stres. Apalagi Pak Yo (Yohanes Surya) di hari pertama itu langsung memberikan pekerjaan rumah 126 soal esai yang harus dikumpulkan esok harinya," kata Senna, mengeluh. Dia makin merasa tersiksa karena hari pertama di karantina bertepatan dengan hari ulang tahunnya. "Sudah sedih tidak berkumpul dengan keluarga, ditambah lagi dengan pelajaran fisika dan pekerjaan rumahnya itu," kata Senna, menggerutu.

Setelah pekan kedua, ketika mulai belajar biologi, barulah Senna bisa menikmati. Ia amat bersemangat setelah menemukan hal-hal baru dalam biologi yang belum pernah diketahuinya.

Akhirnya, di ujung seleksi, pada awal Maret, terpilihlah 12 siswa. Meski mengaku mengikuti pelajaran fisika dengan setengah hati, Senna menempati peringkat pertama. Dia dan rekan-rekannya lalu meneruskan masa belajar di Karawaci hingga Desember. Mereka mulai dicekoki materi pelajaran yang biasa diberikan kepada siswa sekolah menengah atas. "Memang harus begitu. Para peserta olimpiade tingkat SMP harus menguasai pelajaran tingkat SMA," kata Yohanes Surya. Senna mengaku tak kesulitan menyerap materi pelajaran yang lebih tinggi ini. "Anggap saja seperti materi pelajaran di sekolah," katanya, enteng.

Meski terlihat mudah mencerna pelajaran, prestasi Senna di sekolahnya tak terlalu menonjol. Ia tak pernah menjadi juara umum. "Paling cuma juara kelas," katanya.

Begitu juga Diptarama, peraih penghargaan absolute winner. Di sekolahnya, SMPN 252 Jakarta, prestasinya tak terlalu bagus. Meski nilai sainsnya rata-rata 9, ranking-nya di kelas selalu berada di luar 10 besar. "Di kelas 2, saya cuma ranking 13," kata pelajar kelas 3 ini malu-malu. Karena itulah Dipta tak menduga kalau dirinya akan memperoleh medali emas, apalagi ditambah penghargaan nilai tertinggi. Ketika mengerjakan semua soal yang diberikan, Dipta mengaku agak kesulitan mengerjakannya. "Semua soalnya sulit. Apalagi soal teorinya, panjang-panjang," kata remaja berusia 13 tahun ini.

Baik Dipta maupun Senna, punya cita-cita yang sama: menjadi ilmuwan.

Senna bahkan ketagihan untuk mengikuti olimpiade serupa lagi. Nanti, setelah SMA, ia berencana ikut olimpiade biologi internasional.

Rian Suryalibrata, Nurdin Saleh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus