Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudjiono Timan memang tidak ditahan. Alasan hukum untuk menahannya tidak ada, karena keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sebagai peradilan tingkat pertama, membebaskan dirinya. Meski ada kerugian negara triliunan rupiah, hakim di tingkat awal menyebut perkara ini murni perdata.
Kejaksaan langsung minta kasasi. Setelah dua tahun lebih beberapa hari, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi yang menghukum Sudjiono 15 tahun penjara. Putusan tanggal 3 Desember lalu ini barangkali membuat orang gembira, karena terkesan pemerintah Presiden Yudhoyono memperhatikan suara masyarakat agar koruptor dihukum berat. Namun orang segera kaget ketika terhukum dieksekusi pada 8 Desember, Sudjiono sudah menghilang. Di kedua rumahnya di Jakarta dia tidak ditemukan.
Jika kita mau introspeksi, kasus ini menunjukkan betapa banyak hal elementer yang perlu dipelajari. Kejaksaan mengeluhkan lambatnya surat keputusan tiba di mejanya dari Mahkamah Agung. Kita bisa ikut menyalahkan MA, kenapa mengirim surat putusan saja butuh lima hari. Jika alasannya masih perlu diketik lebih rapi dan sebagainya, kenapa tidak menelepon dulu kejaksaan agar terhukum “diawasi”? Namun, kita juga bisa menyalahkan kejaksaan, sudah tahu ada vonis MA—misalnya dari media masa—kenapa tidak langsung saja “mengambil” si terhukum, tidak usah menunggu surat putusan secara formal.
Dalam hal ini, yang patut dipuji sedikit adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang membuat antisipasi dengan menahan paspor Sudjiono sebelum vonis MA keluar. Tapi, apalah artinya “menahan paspor”, karena orang bisa saja pergi ke luar negeri dengan paspor yang lebih baru. Apalagi diakui, di negeri ini orang dengan mudah mendapatkan KTP dengan nama berbeda-beda sebagai syarat memperoleh paspor.
Paspor Sudjiono yang ditahan itu pun dibuat dengan penuh keistimewaan, berkat bantuan tiga oknum kepolisian. Bahkan paspor itu sudah disertai visa ke berbagai negara. Luar biasa hebatnya Sudjiono, karena paspornya bisa terbit dengan lancar berkat rekomendasi dari kepolisian dan diurus oleh tiga orang polisi—yang kini sedang diperiksa.
Ke mana Sudjiono menghilang? Menteri Hukum Hamid Awaluddin masih yakin terhukum belum ke luar negeri, karena potret dia sudah ada di berbagai bandara dan petugas imigrasi sudah diperintahkan mencekalnya. Asumsi ini tentunya benar jika Sudjiono bukan orang hebat, dan tidak punya jaringan yang dengan berbagai cara bisa meloloskan orang ke negeri seberang.
Tapi bukan itu yang penting kita soroti. Yang ingin kita pertanyakan adalah kenapa kerja sama antarinstansi, kejaksaan, Mahkamah Agung, imigrasi, kepolisian, sama sekali tidak ada? Untuk kasus sebesar ini—kerugian negara lebih dari Rp 2 triliun dan masa hukuman 15 tahun—urusan formal dan hitam putih mestinya bisa menyusul, yang didahulukan adalah langkah nyata, bagaimana “mengamankan” terhukum. Putusan MA tentunya tak lahir dalam waktu sekejap, pasti sudah diketahui secara final beberapa hari sebelum dibacakan, atau minimal beberapa jam. Dalam tenggang waktu itu, apakah sulit benar “mengamankan” calon terhukum?
Kini ada rumor, dan bisa jadi rumor ini benar. Sudjiono sudah “dibisiki” keputusan MA beberapa hari sebelumnya, karena itu dia dengan mudah mempersiapkan jurus menghilang, lenggang kangkung ke mana dia suka. Jika rumor ini benar berarti aparat hukum sebenarnya tidak bodoh tapi ada yang justru pandai berpura pura dungu bila imbalannya dianggap memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo