Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI Golkar telah membuang sebuah peluang emas. Sesungguhnya, dalam Musyawarah Nasional ke-7 di Denpasar, kekuatan politik yang selama lebih dari 30 tahun lebih banyak sibuk mendukung Soeharto itu berpeluang mengubah diri secara nyata. Partai berlambang beringin itu berkesempatan menjadikan kader terbaiknya sebagai orang nomor satu partai yang benar-benar disokong aspirasi murni semua lapisan. Partai itu berkesempatan menjadi contoh bagaimana sebuah institusi yang modern menyelenggarakan acara pemilihan pimpinan yang demokratis di alam reformasi ini. Harapan itu masih jauh dari kenyataan.
Malah banyak yang membingungkan di Denpasar. Soal hak suara pengurus partai tingkat kabupaten bisa dijadikan contoh. Pada Musyawarah 1998, hanya pengurus provinsi yang mempunyai hak suara, sekitar 400 pengurus kabupaten ?dijanjikan? akan mempunyai hak suara di musyawarah berikutnya. Karena ?janji? itu tak dicatat dalam notulen, terbuka kesempatan ?memainkannya?. Di Denpasar, ketika seorang kandidat ketua umum mengklaim sudah merebut mayoritas suara provinsi, hak suara kabupaten buru-buru diberikan agar peta pertandingan tak lagi dikuasai si peraih mayoritas tadi. Sangat beralasan jika disimpulkan bahwa hak suara kabupaten diberikan mengikuti kalkulasi politik suatu kelompok yang bersaing, bukan diberikan atas dasar aturan main yang disepakati bersama. Lagi pula, asas kepantasan dan kelaziman biasanya mengharuskan aturan main yang mempunyai kekuatan menentukan ditetapkan untuk peristiwa pemilihan yang berikut, dan bukan diberlakukan seketika itu juga.
Yang juga membingungkan adalah proses penjaringan calon pemimpin partai. Sejumlah syarat administratif diberlakukan, tapi prestasi dan loyalitas dilupakan.
Akbar Tandjung tidak mendapat dukungan mayoritas dalam konvensi partai?yang dimenangi Wiranto. Dia pun tidak berhasil menggalang dukungan untuk memenangkan Wiranto dalam pemilihan presiden. Dalam putaran kedua, Akbar yang menggalang Koalisi Kebangsaan lagi-lagi tak berjaya mengusung kandidat presiden yang disokongnya, yaitu Megawati. Seharusnya ia, dan juga pendukungnya, menyadari bahwa inilah saatnya memberi kesempatan kepada kader partai yang lain, seperti yang lazim terjadi di negara-negara normal.
Muhammad Jusuf Kalla mengaku sudah 39 tahun menjadi kader partai, tapi ia mundur dari konvensi partainya, lalu bergabung dengan Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat. Nama Kalla juga pernah dimasukkan dalam daftar 13 orang fungsionaris Partai Golkar yang diberhentikan oleh Rapat Pimpinan partai itu di Hotel Mulia pada 15 September lalu?walaupun nama Kalla akhirnya dikeluarkan dari daftar lima hari berikutnya karena dianggap tidak bersalah menentang keputusan partai soal Koalisi Kebangsaan. Dalam ajang pemilihan presiden, ia dan SBY mengalahkan calon presiden dari Partai Golkar. Kalau banyak yang memilih Kalla, tentu pemilihnya tidak mengukur masalah loyalitas, melainkan lebih berharap pada limpahan ?berkah? dari pusat kekuasaan melalui wakil presiden ini. Disadari atau tidak, barisan pemilih Kalla tidak berupaya menjadikan partai itu mandiri dan bebas dari kemungkinan intervensi pemerintah.
Orang boleh saja berpendapat bahwa politik itu adalah the art of the possible, seni merangkai kemungkinan. Tapi bila dilakukan tanpa etika oleh pemilih, pemain, dan wasit, di Musyawarah Nasional itu yang tersisa hanyalah adu kuasa, adu tipu muslihat, dan mungkin adu besar ?sumbangan pembinaan?. Artinya, memang tak banyak yang berubah di partai yang merebut 25 juta suara dan juara dalam Pemilu 2004 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo