Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anies Rasyid Baswedan perlu segera diingatkan bahwa tidak menyegerakan deklarasi sama saja dengan menyambut kekalahan yang sedang mengetuk pintu. Sebaliknya, menyegerakan deklarasi adalah undangan pada rakyat untuk bergabung dengan gerakan perubahan. Dus, undangan bagi kemenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah selanjutnya adalah mendaftar ke KPU dan dari situ berjuang bersama Koalisi Perubahan as if there is no tomorrow.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebab elektabilitas Anies tergerus adalah persepsi ketidakpastian. Ketidakpastian Anies bisa benar-benar maju sebagai Capres gerakan perubahan. Tentu saja persepsi demikian belum tentu benar. Tapi sebagai fakta politik, persepsi itu ada dan tidak bisa diremehkan. “Buat apa saya menitip harapan perubahan pada Anies, bila dia belum tentu jadi Capres?”, kira kira itulah yang ada di benak publik.
Persepsi ketidakpastian tidak ada pada Prabowo dan Ganjar. Prabowo dan Ganjar masing-masing adalah perpanjangan kepentingan politik Jokowi dan Megawati. Bagi Prabowo dan Ganjar, bukan saja tak ada halangan atau ganjalan, namun berangkat sebagai Capres adalah kepastian.
Itu karena dua pusat kuasa, yakni Jokowi dan Megawati, ada di depan. Meski katanya terbelah, dan mungkin sekali akan berkompetisi, namun mereka masing-masing memiliki akses, bahkan kontrol, terhadap pengelolaan sumber daya dan aparatus negara. Ganjal-ganjal hukum dan politik yang mereka pegang, jelas tidak untuk digunakan kepada Prabowo dan Ganjar.
Bagaimana dengan Anies?
Persepsi ketidakpastian yang saat ini menghantui Anies harus segera dihapus. Cuma ada satu caranya: Deklarasikan pasangan pemimpin dari Kubu Perubahan. Harus di bulan Juni ini. Agar gap elektabilitas bisa segera dikejar. Makin lama ditunda, gap elektabilitas akan makin lebar dan dalam. Kalau sudah begitu, susah sekali memperbaikinya.
Anies perlu menunjukkan dan menggunakan talenta Presidensialnya sekarang, antara lain untuk mengelola ketegangan kepentingan di antara parpol-parpol pengusungnya.
Bagi Nasdem, mengulur waktu bisa jadi adalah taktik “to limit the damage”. Konon, setelah JGP, dua menteri lain dari Nasdem juga akan diganjal. Yang sudah kelihatan sekarang adalah ganjalan pada seorang anggota Tim Delapan dari Nasdem. Dia dilaporkan ke polisi atas sangkaan perundungan seksual secara verbal. Soalnya, seberapa jauh ganjalan-ganjalan itu akan memengaruhi keberanian Nasdem untuk melanjutkan pencapresan Anies?
Katakanlah di ujung hari Nasdem tetap mengajukan Anies sebagai Capres. Tapi bagaimana bila ada desakan agar Cawapresnya adalah orang titipan kekuasaan? Akankah Nasdem menolak–atau justru memilih berkompromi?
Di sini, lagi-lagi, kita menemukan ketidakpastian.
Maka, bagi partai partai anggota Kubu Perubahan–bagi Demokrat dan sangat boleh jadi juga bagi PKS–menunda deklarasi sama dengan menunggu liang digali untuk mengubur diri sendiri. Bagaimana bila di ujung, Nasdem menarik diri dan berpindah koalisi?
Tentu, bagi Demokrat–dan sekali lagi boleh jadi bagi PKS–lebih baik mendengar berita buruk itu sekarang daripada nanti. Agar masih tersedia pilihan-pilihan politik rasional dengan bobot yang pantas bagi kedua partai.
Pada abad pertengahan di Eropa, antara abad 15 sampai 17, ada pepatah berbunyi, “When the witch rise to power, the wise run for cover”. Sekarang ini di Indonesia ada kebutuhan mendesak bagi perubahan untuk menyelamatkan demokrasi. Pertanyaan bagi Nasdem–dan terutama bagi Anies–pilihan apa yang akan diambil: bersembunyi di hadapan ketakutan atau menyambut gerakan perubahan dengan kepala tegak dan keberanian? To rise to power atau to run for cover?
Fortes fortuna adiuvat!