Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground."
Cersei Lannister dalam Game of Thrones
Brutal. Culas. Tangkas membunuh. Ambisius. Waswas. Film Game of Thrones dipenuhi tokoh macam itu. Rasanya tak ada film lain yang lebih gamblang menggambarkan eratnya politik dengan perang; di sana manusia selalu siap saling menghabisi. Taruhannya total: menang atau mati.
Ratu yang ambisius dan tragis itu, Cersei Lannister, mengatakan kebenaran yang getir di atas karena ia mengalaminya di tiap bagian hidupnya. Ia permaisuri yang berzina dengan saudara kandungnya sendiri, selamanya terancam, dan akhirnya harus menyaksikan anaknya, yang jadi raja muda yang kejam, dibunuh. Cersei mengambil alih takhta, tapi kerajaan diincar dari luar dan dikhianati dari dalam. Tak aneh bila ia memainkan peran politik dengan hati membatu, seakan-akan mengikuti Mao Zedong, pemimpin revolusi Tiongkok itu, yang tak melihat beda antara politik dan perang. "Politik adalah perang tanpa darah, perang itu politik yang berdarah-darah."
Games of Thrones mungkin cocok di masa ketika yang disebut "politik" justru tak lagi seseram dan seseru seperti dalam film itu. Setidaknya di Amerika Serikat dan Eropa. Yang ada hanya "pseudo-politik"; seorang pemikir melihatnya sebagai "menopause" masyarakat Barat.
Dalam "pseudo-politik", perebutan takhta berlangsung tanpa gelora. Di sini lembaga-lembaga lebih berperan dengan rapi, bukan pribadi-pribadi yang bisa eksplosif atau menciut. Di sini semua bertujuan membentuk mufakat, dengan kompromi secukupnya. Tak ada lagi ideologi yang bertentangan. Tak ada lagi perjuangan dengan prospek "menang atau mati". Konflik dikelola tanpa pedang. "Politik" telah jadi lawan-kata "perang".
Stabil, tenang, gampang ditebak. Tapi itu hanyalah salah satu sifatnya yang tak menarik. Sifat lain: eksklusif. "Pseudo-politik" tak menampung unsur-unsur masyarakat yang dianggap ekstrem dan tak pantas. Demokrasi yang diarahkan buat konsensus selamanya sebuah proses "pseudo-politik" yang cuma dimainkan mereka yang dalam kurva statistik berkumpul di "tengah": mereka yang merasa betah berada dalam "middle ground". Kabur batas antara yang "kanan" dan yang "kiri", seperti beda Coca-Cola dengan Pepsi Cola.
Tapi kemudian ternyata keadaan itu berubah. Kini mereka yang tak tertampung menuntut balas. Mereka melawan "kaum elite", kalangan yang mengendalikan lembaga-lembaga politik yang mapan, politikus yang saling tarung sambil membuka kemungkinan berkoalisi. Mereka yang tak tertampung merasa dikecoh. Mereka jadi kaum "populis", yang tumbuh sebagai penentangan kepada "kaum elite".
Di AS, rasa kecewa kepada yang mapan dan yang di tengah itulah yang membuat orang-orang ekstrem memenangkan Donald Trump. Wakil kaum mapan, Hillary Clinton, kalah.
AS adalah contoh di mana demokrasi liberal dimakan kekecewaannya sendiri. Ia berdasarkan asumsi bahwa warga negara adalah manusia yang mengutamakan pilihan yang rasional. "Yang rasional" berarti "tak gila-gilaan" dan sebab itu dialog bukan mustahil.
Ternyata asumsi itu meleset.
Kini dalam politik dialog hampir selalu gagal. Sifat yang tak rasional penuh kebencian, penuh purbasangka berkuasa. Bahkan ada yang mengatakan kita berada dalam zaman "pasca-kebenaran". Kebenaran yang universal tak diakui. Yang benar adalah pihak yang gertaknya paling bising. Sifat antagonistis politik muncul.
Beberapa pemikir sudah agak lama mengingatkan ilusi demokrasi liberal itu. Dalam pandangan Carl Schmitt yang Nazi dan Chantal Mouffe yang "kiri", antagonisme harus diakui; konsensus hanya tujuan yang palsu. Garis antara "kami" dan "mereka" harus ada.
Memang tak diharapkan bahwa akhirnya politik seperti Game of Thrones. Mouffe menawarkan politik yang "agonis", seperti perdebatan di dalam teater Yunani kuno. Tapi apa, bagaimana, dan siapa yang akan menjaga agar tak terulang demokrasi liberal dan juga proses tak jadi perang dengan taruhan "menang atau mati"?
Entahlah. Jangan-jangan ini zaman "pasca-empati". Manusia saling memerlukan hanya dalam kekuasaan dan kekuatan. Kepada orang yang menolongnya, si cebol Tyrion, tokoh yang paling jelek dan paling bijaksana dalam film itu, berujar, "Yang kuperlukan tadi pedangmu, bukan rasa sayangmu."
Tapi saya tak yakin politik, proyek manusia sebagai zoon politikon, bisa berlangsung hanya dengan itu.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo