SEKALIPUN RAPBN 1993/94 ini kurang memberi perangsang fiskal, tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan tertekan. Jumlah uang beredar sampai Maret 1993 nanti, menurut proyeksi pemerintah, akan meningkat 20% dan akan meningkat lagi 17% selama tahun anggaran 1993/94. Sekalipun ekspansi moneter ini sudah lebih rendah daripada tahun-tahun panas 1989-1991, peningkatan ini masih jauh lebih tinggi daripada peningkatan PDB nominal yang, menurut proyeksi pemerintah, akan berkisar 11%. Untuk menghadapi kemungkinan perkembangan inflatoir, ekspansi moneter harus diimbangi dengan pengendalian fiskal, kendali fiskal pada RAPBN 1993/94 ini surplus dalam anggaran rupiah. Jumlah penerimaan dalam negeri di luar minyak dan gas alam Rp 37,6 trilyun yang dibelanjakan sebagai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Di luar pembayaran cicilan utang luar negeri dan belanja pegawai dan barang di luar negeri berjumlah Rp 36,3 trilyun. Ini berarti ada efek moneter di dalam negeri yang kontraktif sebesar Rp 1,3 trilyun. Tambahan sumber penerimaan yang paling besar akan berasal dari pajak penghasilan (PPh). Tambahan PPh hampir Rp 4 trilyun ini (yang sekitar Rp 300 milyar akan berasal dari pajak penghasilan Om Willem dari laba hasil penjualan sahamnya di Astra International) tidak bisa semata-mata didasarkan dari asumsi meningkatnya laba perusahaan-perusahaan yang menjadi wajib pajak. Karena beberapa indikasi menunjukkan bahwa perusahaan- perusahaan besar, karena kegiatan ekonomi yang tertekan, banyak yang mengalami penurunan laba. Proyeksi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) juga tampaknya mendukung sinyalemen ini. Sasaran PPN tahun anggaran sekarang ini Rp 11 trilyun. Tapi sampai semester satu baru terealisir Rp 4,6 trilyun, tidak sampai 50% sasaran. Mungkin karena kondisi ekonomi yang masih lesu, maka pada RAPBN 1993/94 mendatang pemerintah hanya mengharapkan kenaikan PPN 6%. Penghapusan subsidi BBM mulai tahun ini, sekalipun merupakan putusan sulit, akan mempercepat mempertemukan Indonesia dengan hari perhitungan. Masalah subsidi BBM bukan saja masalah biaya produksi atau masalah pembukuan Pertamina. Dengan tingkat pertambahan konsumsi BBM seperti sekarang ini tak lama lagi Indonesia akan menjadi pengimpor minyak. Kenaikan harga akan memaksa orang lebih serius memikirkan konservasi dan penghematan. Prinsip perhitungan biaya ekonomi penuh (full economic cost) mesti ditegakkan. Lebih dari Rp 3 trilyun akan dikeluarkan pemerintah tahun depan untuk perbaikan dan perluasan jalan- jalan raya di seluruh Indonesia. Tentunya sulit untuk diterima bahwa jalan-jalan ini akan cepat dirusakkan oleh kendaraan-kendaraan besar yang menggunakan solar yang disubsidi. Peran APBN sebagai instrumen untuk mempengaruhi fluktuasi pertumbuhan ekonomi sebenarnya makin tersingkir sejak deregulasi di bidang ekonomi dilakukan. Besarnya APBN sebagai persentase Pendapatan Domestik Bruto (PDB) makin turun. Makin besarnya sektor swasta dan makin mengecilnya sektor pemerintah mengakibatkan pengaruh APBN terhadap pertumbuhan ekonomi menurun. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dipacu oleh investasi sektor swasta. Bahkan faktor lain kadang-kadang berperan lebih besar daripada APBN dalam fluktuasi ekonomi. Akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana kebijaksanaan moneter, dan lobi bisnis besar dengan kekuatan politik, lebih efektif dalam mempengaruhi fluktuasi ekonomi. Dalam dua tahun anggaran, 1990/91 dan 1991/92, APBN memang punya efek moneter yang ekspansif. Dalam dua tahun anggaran tersebut defisit rupiah, yang dihitung dari selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin di luar pembayaran utang luar negeri, mencapai jumlah Rp 6,6 trilyun. Ini berarti bahwa APBN dalam dua tahun anggaran tersebut cukup ekspansif. Tapi pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada 1990 dan 1991 lebih banyak disebabkan oleh melonjaknya penanaman modal swasta dari PMDN maupun PMA. Pada masa itu, tanpa APBN yang ekspansifpun, ekonomi akan tetap tumbuh tinggi. Akhir-akhir ini muncul spekulasi di antara para ekonom, tak lama lagi pemerintah akan meninggalkan sistem APBN berimbang. Sistem anggaran berimbang dipandang sebagai sistem yang kaku, yang membatasi ruang gerak pemerintah untuk memberi respons terhadap gejolak perekonomian yang timbul. Apalagi dengan makin terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia, makin banyak hal-hal yang tak diperhitungkan muncul. Pada saat suhu ekonomi panas, pemerintah tidak bisa mengurangi pengeluarannya dan menghasilkan surplus, karena tindakan ini bertentangan dengan prinsip anggaran berimbang. Begitu pula pada saat kegiatan ekonomi lesu dan perlu perangsang, pemerintah tidak bisa menambah pengeluaran yang melebihi penerimaan. Namun dalam tahun anggaran 1990/91 dan 1991/92 pemerintah ternyata masih ''mensterilkan'' surplus yang berasal dari tingginya harga minyak sejumlah Rp 3,5 trilyun. Ini satu indikasi bahwa pemerintah sudah tidak memegang teguh lagi prinsip anggaran berimbang. Kalau masih ada fungsi APBN yang masih efektif, maka fungsi tersebut adalah peranannya untuk meningkatkan pemerataan di daerah-daerah, yang selama ini dilaksanakan lewat pembangunan proyek-proyek Inpres. Inilah proyek-proyek yang sederhana, yang cukup memberi banyak lapangan kerja karena padat karya, dan tak banyak memerlukan komponen impor. Karena ditangani sendiri oleh kabupaten dan desa, maka ada unsur edukatif. Karena kekurangan dana, proyek Inpres ini sempat mengalami stagnasi pada Repelita yang lalu. Tapi empat tahun terakhir ini anggaran untuk proyek Inpres meningkat dengan rata-rata 50% setahun, tingkat pertumbuhan paling cepat dibanding dengan sektor-sektor lain. Jumlahnya meningkat dari 3,3% APBN pada 1989/90 menjadi 7,4% APBN pada 1992/93. Sayang sekali bahwa peningkatan pengeluaran Inpres sebesar 50% ini tidak bisa dipertahankan lagi pada RAPBN 1993/94 nanti. Padahal transformasi yang selama ini berlangsung di desa- desa dan kabupaten lewat proyek Inpres telah menjadikan APBN bukan sekadar ritual pemenuhan amanat konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini