Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERPULANG Sabtu dua pekan lalu, pada usia 79 tahun, Indonesianis Benedict R.O'G. Anderson merupakan bagian penting dalam sejarah Indonesia. Salah satu sumbangannya yang menonjoladalah hasil penelitiantentang Gerakan 30 September, yang berjudul A Preliminary Analysis of the September Movement—atau biasa disebut Cornell Paper. Bersama sejumlah akademikus dari Universitas Cornell, Amerika Serikat—di antaranya Ruth McVey—Ben menyimpulkan peristiwa itu bukan kup Partai Komunis Indonesia, melainkan bagian dari konflik internal Angkatan Darat.
Diterbitkan pada 1 Januari 1966, hanya tiga bulan setelah peristiwa berdarah tersebut, kesimpulan yang diambil Ben dan kawan-kawan dianggap tergesa. Ketika itu pengadilan terhadap sejumlah petinggi PKI bahkan baru dimulai. Belakangan terungkap, konflik Angkatan Darat cuma sebagian dari penyebab G-30-S—karena itu Cornell Paper tidak sepenuhnya bisa dianggap salah. Studi yang dilakukan sejarawan Universitas British Columbia, Kanada, John Roosa, misalnya, menyebutkan peran Biro Chusus PKI dalam penculikan enam jenderal plus seorang perwira pertama Angkatan Darat. Biro Chusus dibentuk Ketua PKI D.N. Aidit bersama Sjam Kamaruzaman, tokoh misterius yang bahkan tak dikenal di kalangan pengurus PKI.
Betapapun, Cornell Paper patut diapresiasi karena sedari awal membantah teori tentara tentang kudeta PKI—sesuatu yang dijadikan alasan untuk melibas bahkan mereka yang tak bersalah. Kita tahu lebih dari satu juta orang terbunuh, belasan ribu dibuang ke Pulau Buru. Ratusan lainnya menjadi eksil di luar negeri dan kehilangan hak perdata sebagai orang yang tak bersih lingkungan. Cornell Paper juga menjadi dokumen pertama yang membantah propaganda militer tentang pembunuhan kejam terhadap para jenderal—misalnya pencungkilan mata dan pemotongan kelamin—cerita yang dikarang untuk membangkitkan teror dan perang saudara.
Sumbangan lain Ben adalahpandangannya tentang nasionalisme, yang secara telak mematahkan argumentasi kaum ultranasionalis,yang secara sempit melihat nasionalisme hanya sebagai kawasan dengan sebuah batas wilayah. Di mata Ben, nasionalisme bukan sesuatu yang ahistoris: ia dibentuk oleh sejarah—juga imajinasi komunitas.
Bagi Ben, Indonesia sebagai bangsa adalah "kebetulan". Ia memberi contoh. Pada 1811, Belanda dicaplok Inggris. Lalu ada kesepakatan Belanda menyerahkan Sri Lanka dan Afrika Selatan agar bisa "merdeka". Jika kesepakatan itu tidak terjadi, Indonesia akan menjadi bagian dari Malaysia, yang sebelumnya telah menjadi koloni Inggris.Dengan kata lain, bagi Ben, batas wilayah Indonesia sebetulnya cuma "kecelakaan".
Ben memandang nasionalisme dalam perspektif yang lebih rileks. Ia meledek mereka yang melihat Indonesia—sesuatu yang kerap diangkerkan dengan istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—dalam kacamata yang sempit dan kaku. Di sini kita menemukan relevansi Ben Anderson. Aneksasi Timor Leste serta perang di Aceh dan Papua merupakan bukti kesalahan pandangan tentang nasionalisme.
Bagi Ben, nasionalisme merupakan proyek bersama. Tanpa kesukarelaan, proyek itu akan sia-sia. Represi negara, secara politik dan ekonomi, akan menggerus semen pengikat kebersamaan tadi. Pelibatan masyarakat dan pemerataan ekonomi, betapapun klise frasa itu terdengar, karenanya merupakansyarat mutlak keutuhan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo