Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Goyang Mundur Setya

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang berakhir Rabu pekan lalu sesungguhnya adalah panggung kelihaian Setya Novanto menyelamatkan diri. Bahkan, sampai sidang ditutup, tak sepatah kata pun keputusan Mahkamah menyebutkan politikus Golkar itu terbukti melanggar kode etik.

Semua itu bisa terjadi karena kelicikan Setya bermanuver. Di menit-menit terakhir sebelum sidang dinyatakan selesai, politikus senior Golkar itu mengirimkan surat pengunduran diri sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Sidang pun—awalnya semua anggota Mahkamah sepakat bahwa Setya terbukti melanggar kode etik—tiba-tiba berubah arah.

Dalam keputusan sidang yang dibacakan Ketua MKD Surahman Hidayat, tak lagi disebut-sebut soal pelanggaran kode etik. Padahal sidang ini digelar untuk merespons laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said tentang etika yang diduga dilanggar Setya Novanto.

Sudirman melaporkan Setya atas tuduhan memanfaatkan jabatannya sebagai Ketua DPR dengan menjanjikan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Keputusan resmi sidang hanya menyatakan menerima pengunduran diri Setya. Artinya, Setya tak pernah dinyatakan bersalah dalam kasus "Papa Minta Saham" ini.

Hasil akhir seperti ini memang sudah diduga. Sejak awal, pendukung Setya sudah berupaya keras menyelamatkannya dari vonis bersalah. Di hari terakhir sidang pun, manuver penyelamatan makin telanjang. Tak lama setelah sidang dibuka, Akbar Faisal, anggota Mahkamah dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, dilarang mengikuti sidang. Akbar, yang memang paling gencar menuntut agar Setya divonis bersalah, didepak atas tuduhan membocorkan materi rapat internal MKD.

Bahkan upaya penyelamatan tetap berlangsung saat anggota Mahkamah mulai membacakan pandangan masing-masing. Dari 17 anggota Mahkamah, 10 orang menyatakan terjadi pelanggaran etik tingkat sedang. Tujuh sisanya memvonis sanksi kode etik tingkat berat. Vonis pelanggaran berat seolah-olah jauh lebih berat dibanding jika Setya diputuskan melanggar kode etik tingkat sedang. Padahal di sinilah terbuka celah penyelamatan Setya.

Pasal 40 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata cara MKD menyebutkan, jika Setya dikenai sanksi berat, Mahkamah harus membentuk panel baru untuk memeriksa lagi kasus ini. Peluang Setya lolos terbuka karena pasal 41 (5) menyatakan panel bisa menganulir hukuman yang sudah dijatuhkan sidang MKD.

Peluang penyelamatan itu tertutup karena sebagian besar anggota MKD memilih opsi hukuman pelanggaran etik tingkat sedang. Hukuman untuk opsi ini adalah Setya dicopot sebagai Ketua DPR, tapi tetap menjadi anggota Dewan. Begitupun, hukuman ini tak dijatuhkan dengan dalih Setya memilih mengundurkan diri sebelum vonis turun.

Apa pun hasil sidang itu, satu hal sudah pasti: Setya, yang bukan sekali ini saja melakukan tindakan tak terpuji, akhirnya tidak lagi menjabat Ketua DPR. Inilah pertama kali dalam sejarah demokrasi Indonesia seorang Ketua DPR bisa dilengserkan.

Pelengseran Setya semestinya menjadi momentum bagi DPR untuk berbenah diri. Kasus "Papa Minta Saham" adalah puncak buruknya perilaku anggota Dewan. Terungkapnya upaya Setya menjadi calo perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia makin menegaskan betapa DPR harus segera membersihkan diri.

Tentu tak semua anggota Dewan bobrok. Namun banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggotanya menyebabkan DPR telanjur dicap sebagai lembaga yang tak bisa dipercaya. Survei Center for Strategic and International Studies pada Oktober lalu, misalnya, menyimpulkan kepercayaan publik kepada DPR hanya 53 persen. Sungguh jauh di bawah kepercayaan kepada Tentara Nasional Indonesia—yang justru di masa Soeharto dihujat karena dianggap alat kekuasaan—yang mencapai 90 persen.

Jika DPR hendak membenahi diri, kasus "Papa Minta Saham" bisa dijadikan langkah awal. Urusan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya telah selesai disidangkan. Kini DPR bisa menunjukkan kesungguhannya membawa kasus ini dengan mendorong pengusutan ke ranah hukum.

Apa yang dilakukan Setya dan orang-orang yang terlibat dalam rekaman percaloan saham bukan sekadar pelanggaran etik. Benar kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, andai tak keburu terbongkar, inilah skandal korupsi terbesar. Tidak hanya dari nilai saham yang diincar, tapi juga dari sisi figur yang terlibat.

DPR harus mendukung langkah kejaksaan mengusut aspek pidana kasus ini, bukan hanya keterlibatan Setya, melainkan juga orang-orang yang disebut dalam rekaman itu. Termasuk mendorong pengusutan Riza Chalid, tokoh yang disebut-sebut sebagai mafia migas, serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus