Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang dikhawatirkan para pegiat antikorupsi benar-benar terjadi. Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memilih figur-figur yang dikenal "lunak" untuk memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Pilihan politikus Senayan itu bisa membuat KPK semakin loyo.
Para anggota Komisi Hukum DPR terkesan tak berupaya mencari pemimpin yang berintegritas, punya pengalaman, sekaligus bernyali. Tiga calon dari kalangan internal KPK—Busyro Muqoddas, Johan Budi Sapto Pribowo, dan Sujanarko—justru tak lolos. Lima pemimpin yang dipilih merupakan tokoh yang masih diragukan komitmennya dalam memerangi korupsi.
Tak disangka-sangka, Agus Rahardjo memperoleh suara terbanyak. Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ini terpilih pula sebagai Ketua KPK. Adapun empat figur lain yang lolos adalah hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Alexander Marwata; Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara Thony Saut Situmorang; Staf Ahli Kepala Polri Inspektur Jenderal Basaria Panjaitan; dan dosen Universitas Hasanuddin, Laode Muhammad Syarief.
Sekalipun integritasnya lumayan bagus, Agus belum teruji memerangi korupsi. Figur lain pun masih tanda tanya. Irjen Basaria, misalnya, ingin memaksimalkan fungsi supervisi KPK serta mendorong kepolisian dan kejaksaan lebih berperan dalam memberantas korupsi. Gagasan yang disampaikan dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR itu dikhawatirkan akan membikin KPK hanya sebagai "komisi pencegahan korupsi".
DPR terkesan menyia-nyiakan hasil penyaringan awal oleh panitia seleksi yang dilakukan cukup terbuka. Setidaknya beberapa calon sempat dicecar panitia karena memiliki harta yang mencurigakan, antara lain Inspektur Jenderal Purnawirawan Yotje Mende, Mayor Jenderal Purnawirawan Hendardji Soepandji, dan Saut Situmorang. Yotje, yang pernah menjadi Kepala Kepolisian Papua, misalnya, disorot lantaran memiliki banyak transaksi dalam rekeningnya pada 2013.
Namun kehati-hatian panitia seleksi kemudian dipatahkan pada pengujung proses yang panjang itu. Yang terjadi adalah sebuah antiklimaks. Hasil pemilihan itu segera mengingatkan orang pada serangkaian upaya kriminalisasi pemimpin KPK sebelumnya. Jangan-jangan, inilah bagian dari ikhtiar sistematis untuk memandulkan komisi antikorupsi. Apalagi belakangan juga muncul keinginan memangkas berbagai wewenang lembaga ini dengan merevisi Undang-Undang KPK.
Situasi "mendung bagi gerakan antikorupsi" sekarang lebih buruk dibanding saat pemilihan pemimpin KPK pada 2011. Ketika itu masih muncul nama Bambang Widjojanto, yang lolos dengan nilai terbaik. Abraham Samad, yang saat itu terpilih sebagai Ketua KPK, belakangan pun mampu menunjukkan keberaniannya memerangi korupsi. Gebrakan yang dilakukan KPK di era Abraham dan Bambang ini akhirnya memicu perlawanan keras dari kalangan politikus Senayan dan benturan dengan kepolisian.
Ujian nyata bagi Agus Rahardjo dan kawan-kawan sudah di depan mata setelah lolos dari seleksi DPR. Sejauh mana kepemimpinan baru ini sanggup melawan upaya pelemahan komisi antikorupsi lewat revisi Undang-Undang KPK. Nyali dan kemampuan mereka juga diuji dalam menyelamatkan penyidik komisi antikorupsi, Novel Baswedan, yang dikriminalisasi.
KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo diperkirakan tak sanggup menghadapi tantangan berat itu, apalagi meneruskan perang habis-habisan melawan korupsi. Tapi kami masih tetap berharap, mudah-mudahan prediksi ini meleset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo