KETIKA bertamasya ke pantai Carita bersama keluarga paman saya,
maka hal yang paling menarik adalah tingkah-pola ketiga orang
anaknya. Si bungsu di kelas III SD bernama Yani, putera. Yang
kedua puteri bernama Santi, sekarang di kelas I SMP. Yang
sulung, Yanto, di SMP kelas III, putera yang juga jadi bintang
keluarga ini: Cerdas, percaya diri, tak acuh, angkuh tapi setia.
Memandang ombak yang memecah, kami mengambil tempat di bawah
sebatang perdu dan berbicara tentang segala hal, antaranya
tentang cita-cita mereka.
Yani mau jadi apa nanti?
- Jadi doktorandus, kak!
- Santi mau jadi penyanyi seperti Emilia Contessa!
- Kenapa?
- Biar banyak teman. Bisa surat-suratan di koran. Pakai foto
segala. Asyooi!
- Yanto tentu jadi penerbang, ya kan? - kataku menggoda.
- Tidak!!
- Lalu jadi apa, To?
- Jadi bandit!
Boleh To, asal bandit yang nomor satu kata ayahnya, yang juga
mendengar jawaban anaknya.
Semua tertawa. Hanya saya yang bengong bercampur kagum.
***
Menjadi apa nanti, bagi ayah itu, nampaknya bukanlah perkara
utama. Yang menantang ialah menjadi yang bagaimana, dengan
kwalitas apa. Sang ayah rupanya berpendapat: kalau mandi jangan
kepalang basah. Tidak keberatan kalau anaknya jadi apa pun juga
bandit asal yang hebat, dengan mutu terbaik.
Mungkin hal tersebut terdengar extrim. Tetapi sikap di baliknya
sebetulnya mulia, agung, mungkin aristokratis dalam makna
sesungguhnya. Yaitu menjadi yang terkemuka dan terbaik dalam
posisi apapun, sebagai apapun: dirjen, guru besar, direktur,
juru tik atau polisi lalu-lintas.
Konon, keluarga-keluarga Kennedy diwarisi dengan sebuah semboyan
yang congkak dari kakek mereka Patrick Kennedy, itu Kennedy
pertama yang lahir di Amerika. Semboyan itu kemudian dianggap
sebagai amanat, dan belakangan dijalankan pula: rebut tempat
pertama, tempat kedua itu kalah namanya. (Come in frst, second
place is failure). Ketika Joseph Kennedy - bapak Presiden
Kennedy - menjadi ayah, maka diapun ingin menjadi ayah yang
berhasil. Kepada isterinya Rose Mary dia bahkan berjanji: "Untuk
tiap anak yang kau berikan kepadaku akan saya sediakan satu juta
dollar. Uang itu boleh mereka gunakan sekehendak hatinya,
setelah mereka berumur 21 tahun". Menurut sebuah perkiraan
ketika John Kennedy menjadi presiden, uang yang disediakan
ayahnya total berjumlah 200 juta dollar.
***
Kalau seseorang memasuki sebuah pekerjaan, maka kerja itu dapat
menjadi tempat dia mengembangkan potensinya atau pekerjaan itu
hanya dijadikan jalan bagi promosi dirinya. Seorang menjadi
supir bis karena "mengukur jalan raya" memang sesuai dengan
bakat dan tenaganya, atau karena setelah empat atau lima tahun
menjadi supir, dia berharap akan diangkat menjadi pengawas
supir, kemudian kepala bahagian di sebuah departemen perusahaan
bis dan, siapa tahu, pada akhirnya menjadi direktur.
Sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua keinginan itu.
Secara teoritis, seorang pengawas supir akan dipilih dari antara
mereka yang tclah membuktikan dirinya sebagai supir-teladan.
Akan tetapi tidak selalu harus demikian. Reporter sebuah harian
dapat mengembangkan dirinya menjadi amat sukses (juga secara
ekonomis) tanpa perlu berharap menjadi wakil pemimpin redaksi.
Pada taraf yang berhasil, dia akan menjadi rebutan tiap majalah
berita, untuk membuat sebuah reportase penting.
Hal yang pada hemat saya tidak benar ialah bahwa sukses
profesionil biasanya diukur berdasarkan jenjang promosi, dan
bukan berdasarkan volume prestasi dalam posisi tertentu.
Bukankah sia-sia mengambil guru SMA yang berhasil dan
menjadikannya dosen Fakultas yang gagal? Atau mengangkat seorang
dirjen yang berhasil menjadi menteri yang gagal?
Sebabnya ialah karena seseorang hanya bisa menjadi yang terbaik
di tempatnya yang benar. "Right man on the wrong place" tak lain
dari pemborosan.
Ketika mendengar tentang adanya program "produksi" beberapa
ratus Dr. dalam beberapa tahun, teman sekantor saya nyeletuk:
"Apa masalah kita yang sebenarnya? Memperbaiki mutu guru-guru SD
dan SMP atau menghasilkan ratusan Dr.?"
Persoalannya adalah pilihan antara kenaikan ke atas atau
perbaikan di rempat. Jimmy Carter serasa menggema dengan amat
simpatik juga di Indonesia: Why not the best?, mengapa bukan
yang nomor satu, juga sebagai guru SD?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini