Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa dalam Bahaya

TIMBUL kendala kecil saat saya menawar harga madu hutan yang dijajakan di tepi jalan raya ke arah Atambua di perbatasan Timor Leste.

21 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahasa dalam Bahaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIMBUL kendala kecil saat saya menawar harga madu hutan yang dijajakan di tepi jalan raya ke arah Atambua di perbatasan Timor Leste. Pasalnya, perempuan tua penjual madu itu hanya bisa berbahasa lokal yang tidak saya pahami. Kendala teratasi setelah Elen, cucu penjual madu (begitu ia mengaku), datang mengambil alih proses tawar-menawar. Elen, lulusan sekolah menengah pertama, lumayan bisa berbahasa Indonesia dengan logat Melayu timur. Ia adalah bagian dari generasi ketiga keluarga orang Atoni itu yang telah keluar dari tanah kering di pedalaman Pulau Timorwalau tetap tinggal di area pinggiran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain bersama neneknya, di rumah sederhana beratap rumbia, Elen tinggal dengan kedua orang tuanya. Kakeknya telah meninggal beberapa tahun silam. Seorang kakaknya bekerja sebagai petugas kebersihan di Kupang dan seorang lagi bekerja di toko kelontong di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Dari semua anggota keluarga Elen, hanya neneknya yang masih berbahasa lokal sepenuhnyadan praktis tidak mengenal bahasa lain. Ayah dan ibunya sedikit bisa berbahasa Indonesia logat timur itu jika melayani pembeli madu yang berasal dari daerah lain. Akan halnya kedua kakak laki-lakinya makin terbiasa memakai bahasa Indonesia lantaran tuntutan pekerjaan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba saya membayangkan suatu proses kebahasaan yang mungkin merisaukan di rumah Elen. Bahasa Atoni memang masih dominan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari keluarga itu, apalagi penutur aslinya, yakni nenek dan kedua orang tuanya, masih hidup. Namun pemakaian bahasa ibu di rumah itu juga jelas menyusut. Kelak, bila tiba saatnya nenek Elen meninggal, tidak ada jaminan bahwa keluarga yang ditinggalkan, terutama si cucu, akan tetap menuturkan bahasa ibunya sendiri semilitan sang nenek. Dan jika terus ikut dalam proses modernitasbersekolah atau bekerja di kotaahli waris keluarga itu mungkin harus menanggalkan bahasa ibunya.

Gambaran proses tingkat "mikro" tersebut cuma berskala kecil dan mungkin tidak signifikan saat ini. Namun para antropolog mencatat bahwa secara umum proses perubahan sosial orang Atoni makin nyata sejak masa awal Indonesia merdeka. Pada 1960-an, misalnya, ribuan orang "Rakyat Tanah Kering" menyebar ke kota-kota di Timor, misalnya Kupang, berburu pekerjaan modern di luar pertanian (lihat esai Clark E. Cunningham, "Soba: Sebuah Desa Atoni di Timor Barat", 1964). Jenis pekerjaan baru ini jelas menuntut praktik bahasa komunikasi yang baru pula. Jika hal itu terus berlangsung dalam jangka panjang, bahasa ibu atau lokal akan makin terdesak dan bisa jadi punah.

Kepunahan bahasa ibu/lokal/daerah lantaran "kehabisan" penutur asli telah menjadi kenyataan di negeri ini-bahkan sesungguhnya merupakan gejala global. Bahasa Ibu (atau Ibo) di Desa Gamlamo dan Gamici, pesisir Halmahera Barat, misalnya, kini tinggal menyisakan tiga orang penutur asli, yang sudah sangat tua dan sulit diajak berkomunikasi (Tempo, 23-29 April 2018). Penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menemukan 11 bahasa daerah di Indonesia timur-Maluku, Maluku Utara, dan Papua-telah punah. Angka itu kini bertambah menjadi 13 (info lisan Profesor Multamia Lauder, linguis Universitas Indonesia).

Bahasa Eyak mungkin bisa menjadi kenangan menyedihkan tentang bahasa lokal yang cures di tengah keluarga penutur aslinya yang juga punah. Pada abad ke-19, bahasa itu masih banyak terdengar di Yakutat hingga Sungai Copper di sepanjang pantai selatan-tengah Alaska. Namun, pada 2001, penuturnya tinggal semata wayang, yang bermukim di Anchorage (lihat Christopher Moseley, Encyclopedia of the World's Endangered Languages, Routledge, 2007). Marie Smith Jones, kelahiran 1918, penutur Eyak terakhir itu, berpulang pada 2008 menyusul Sophie Borodkin, saudara kandungnya, yang meninggal pada 1992. Anak-anak mereka hanya bisa berbahasa Inggris (Jared Diamond, The World Until Yesterday, Penguin Books, 2012).

Apakah bahasa Atoni akan punah tampaknya masih harus dilihat sekian puluh tahun mendatang. Menurut kamus Moseley tersebut, dari 53 bahasa lokal di daerah Pulau Timor dan sekitarnya, 6 berstatus potensial dalam bahaya, 2 dalam bahaya, dan 1 bahasa mengalami moribund atawa hidup senen-kemis. Namun pemetaan itu tidak mengidentifikasi secara konkret bahasa-bahasa apakah yang menderita bermacam kondisi tersebut. Belum diketahui pula apakah bahasa Atoni tergolong endangered lantaran mulai ditinggalkan penutur generasi mudanya.

Langkah Badan Bahasa, universitas, sekolah, komunitas, atau pihak lain untuk menyelamatkan bahasa lokal dari bahaya kepunahan patut didukung sepenuh hati. Sebab, bahaya terbesar yang sesungguhnya mengancam bahasa-bahasa lokal itu ialah jika tidak ada kepedulian dari siapa pun atas kelangsungan hidupnya.

Kasijanto Sastrodinomo
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus