Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Salah Desain Kereta Ringan

Tanpa studi kelayakan yang memadai, proyek LRT Jabodebek belepotan sejak awal. Kesalahan desain meningkatkan risiko kecelakaan.

 

7 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Salah desain kereta rel ringan yang menghubungkan Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi atau LRT Jabodebek semakin membuktikan betapa buruknya perencanaan megaproyek infrastruktur di era Presiden Joko Widodo. Alih-alih mengambil langkah koreksi, Jokowi malah meminta masyarakat memaklumi kesalahan tersebut dengan dalih ini merupakan pertama kalinya proyek itu digarap oleh putra-putri Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Padahal kritik yang disampaikan sangat krusial. Kritik itu datang dari dalam pemerintah sendiri. Belum lama ini, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mempersoalkan kesalahan desain pada jembatan lengkung bentang panjang (longspan) pada lintasan LRT yang berada di persimpangan Jalan Gatot Subroto dan Jalan HR. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Akibat desain longspan terlalu menikung tajam, kereta ringan hanya bisa melaju maksimal 20 kilometer per jam di titik tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tak hanya berpengaruh pada target waktu tunggu kereta, kesalahan desain pada jembatan lengkung sepanjang 148 meter itu berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan saat kereta ringan berada di tikungan. Padahal desain longspan itu sebelumnya dielu-elukan banyak pihak, termasuk oleh Presiden Joko Widodo. Persoalan ini menambah panjang daftar masalah proyek kereta ringan.

Belum hilang dari ingatan kecelakaan dua rangkaian kereta LRT Jabodebek saat uji coba sarana yang berlangsung pada Oktober 2021. Dua bulan setelah kejadian itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan hasil pemeriksaan serta menyampaikan sejumlah rekomendasi.

Pengujian sarana, misalnya, dilakukan di lintasan LRT karena belum ada depo khusus untuk proyek ini. Kala itu, sistem persinyalan di lintasan juga belum berfungsi. Sedangkan prosedur operasi standar (SOP) dalam kegiatan langsir kereta tak dilengkapi metode komunikasi yang memadai sehingga teknisi berkomunikasi dengan aplikasi WhatsApp.

Hasil temuan KNKT itu seharusnya menjadi alarm bahwa selalu ada risiko yang mengintai bila proyek digarap serampangan. Apalagi bila tidak dibekali studi kelayakan yang memadai, baik dari aspek keselamatan, finansial, maupun komersial. Celakanya, Presiden Jokowi sejak awal bersikap menggampangkan seluruh prosedur pengerjaan proyek.

Kita masih ingat, dalam acara groundbreaking pada September 2015, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa hanya perlu dua hari untuk menerbitkan peraturan presiden sebagai landasan hukum proyek LRT. Sepekan setelah perpres terbit, secepat kilat pula proyek langsung dipaksakan dimulai. Targetnya: proyek dengan lintasan sepanjang 44,43 kilometer itu beroperasi sebelum pemilihan presiden 2019.

Selanjutnya, kita tahu, megaproyek ini belepotan karena tersendat pelbagai persoalan, antara lain pembebasan lahan dan belum terintegrasinya sistem persinyalan. Pemerintah bolak-balik merevisi target operasi, dari 2019 menjadi 2021, lalu diundurkan menjadi pertengahan 2022, dan terakhir digadang-gadang beroperasi pada 18 Agustus 2023 sebagai kado HUT RI ke-78. Namun belakangan target itu berpotensi diundurkan menjadi akhir bulan ini karena ditengarai ada gangguan pada rem darurat serta pasokan daya listrik yang kerap terputus sendiri.

Melesetnya target operasi membuat beban proyek kereta ringan lebih berat. Proyek ini awalnya ditaksir menelan biaya Rp 23 triliun. Kini biaya investasi proyek menembus Rp 32,5 triliun—ini belum termasuk subsidi yang mesti ditanggung negara agar LRT Jabodebek tak merugi bila kelak beroperasi secara komersial.

Skema pembiayaannya juga berubah. Awalnya proyek kereta ringan memakai APBN murni. Belakangan, perusahaan pelat merah dipaksa ikut menanggung beban lewat investasi, yang ujung-ujungnya harus ditopang juga secara tidak langsung oleh APBN melalui penyertaan modal negara dan penjaminan.

Dari proyek ini, kita semestinya belajar bahwa proses pembuatan kebijakan publik tidak boleh asal cepat dan asal jalan. Akuntabilitas kebijakan lebih penting daripada keberanian mengambil keputusan. Apalagi proyek ini dibiayai uang rakyat sehingga menuntut tanggung jawab dan kehati-hatian yang lebih besar.

Sikap legawa mengakui dan memperbaiki kesalahan akan lebih bijak untuk mencegah kecelakaan yang mengancam keselamatan pengguna kereta ringan. Tak ada gunanya meminta permakluman atas kesalahan desain maupun persoalan teknis jika berujung pada malapetaka dan penyesalan di kemudian hari.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus