Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAIKNYA kita tak tedeng aling-aling: tawuran antarpelajar di Ibu Kota sudah melewati ambang ketenggangan. Hanya berselang sehari, dua pelajar tewas di dua tempat dalam kasus yang sama, pekan lalu. Kejadian itu semakin menohok di tengah kenyataan bahwa sehari sebelum peristiwa kedua, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama Gubernur DKI Jakarta mengumumkan tekad mengakhiri tawuran antarpelajar di Ibu Kota.
Hingga pekan lalu, tahun 2012 sudah mencatat 139 peristiwa tawuran antarpelajar, dengan belasan korban jiwa. Merujuk data Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang tahun lalu terjadi 339 tawuran antarpelajar di seluruh Indonesia, dengan 82 korban tewas. Jumlah ini lebih tinggi dari korban sengketa lahan pertanian dan perkebunan di seluruh Nusantara pada tahun yang sama. Angka ini meningkat 165 persen dari tahun sebelumnya, dengan "hanya" 128 kasus.
Dari semua peristiwa tawuran itu, pada dasarnya tidak ada sebab-musabab "prinsipil". Alasan sepele bisa memacu perkelahian massal, misalnya saling mengejek, atau buntut hasil pertandingan olahraga antarsekolah. Tapi, karena penyelesaian yang tak pernah tuntas, tawuran itu akhirnya seperti menemukan "akar kultural"-nya, sehingga ada sekolah-sekolah tertentu yang siswanya bermusuhan secara "tradisional", dari angkatan ke angkatan.
Tawuran sepekan terakhir membuktikan betapa lemahnya upaya penangkalan selama ini. Sudah saatnya menunda dulu polemik antara "pendekatan kuratif" dan "pendekatan preventif", atawa antara "pendekatan persuasif" dan "pendekatan opresif". Studi mendalam tetap perlu dilakukan, baik meliputi aspek pedagogis, psikologis, maupun sosiologis. Seraya studi itu dilakukan, yang paling mendesak pada saat ini adalah tindakan drastis—bahkan radikal—yang berorientasi pada penegakan hukum.
Dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat terdengar suara yang menyarankan pencopotan kepala sekolah yang muridnya terlibat tawuran. Usul ini memang drastis, tapi sekaligus menggampangkan soal. Para pelajar yang makin pintar itu bisa saja menunggangi "solusi" ini untuk mengganti kepala sekolah yang tidak mereka sukai dengan merekayasa tawuran.
Langkah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menemui salah seorang tersangka pelajar-pembunuh itu di Markas Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan juga menimbulkan pertanyaan. Alih-alih menyambangi keluarga koban untuk menyampaikan simpati dan santunan, Menteri malah "beraudiensi" dengan sang terduga pembunuh. Kalau memang mengharapkan sanksi tegas bagi para petawur, serahkan saja seluruh persoalan ke kepolisian.
Kemampuan polisi menangkap para terduga pembunuh dalam waktu singkat sesungguhnyalah patut dipujikan. Apalagi "janji" polisi untuk mengenakan pasal berlapis bagi para bergajul itu dari pasal penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan. Tawuran antarpelajar, terutama di Ibu Kota, memang sudah melampaui kenakalan dan memasuki ranah kejahatan.
Beberapa peristiwa membuktikan bahwa, di tengah tawuran, para anak sekolah itu tidak lagi sekadar melampiaskan dendam antara "kita" dan "mereka", atau antara "kawan" dan "musuh". Dalam sebuah peristiwa di Jakarta Timur, akhir Agustus lalu, seorang pria 64 tahun yang sedang berusaha menghindar dari lokasi tawuran justru dibunuh dengan buas. Artinya, jika memang berniat menyelamatkan generasi penerus, para pelajar-petawur itu harus ditindak setimpal dengan perbuatannya. Setelah itu, barulah selayaknya dilakukan penelitian tentang apa yang disebut "efek jera".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo