Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bapak-isme

Adakah jalan untuk mencegah kemunduran demokrasi? Panduan dari Bung Hatta perlu dijadikan pedoman

20 November 2023 | 17.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi sarjana politik yang melakukan perbandingan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, mencermati kecenderungankawin silangantara modus operandi penyelenggaraan secara tradisional dengan birokrasi modern merupakan keasyikan tersendiri. Mulai dari penelusuran Fred Riggs (1966) pada transformasi birokrasi modern Thailand dalam kerangka Kerajaan (King as Master), observasi Ben Anderson (1988) eksistensi para tuan tanah (cacique) dalam arena politik di Filipina sesuai terminologi hingga pengamatan Heather Sutherland (1979) terhadapformasi elit birokrasi Indonesia dari pangreh praja menjadi pamong praja. Kajian-kajian tersebut mengilustrasikan persenyawaan antara tata kelola pemerintahan tradisional dan modern.

Model pemerintahankawin silangdemikian sering diistilahkan sebagai neo-patrimonialism. Dasar katanya adalah patrimony, di mana property, dalam hal ini termasuk kekuasaan, diwariskan dari bapak atau leluhur laki-laki. Definisi ilmiahnya hybrid political system where ‘strong personal power . . . through patron–client relations [combined with] the use of modern bureaucratic agencies (Sandbrook 1985). Agar mudah dipahami dalam alam pikir kita, terminologi “Bapak-ismekiranya pelafalan tepat.

Bapak-isme

David Brown (1994), seorang political sociologist dari Universitas Murdoch di Australia, mengilustrasikan sistem penyelenggaraan pemerintahan Indonesia semasa Orde Baru sebagai neo-patrimonial, suatu model penyelenggaraan negara berdasarkan personalisasi kepemimpinan dalam nuansa tradisional namun dijalankan di atas platform kelembagaan pemerintahan modern. Bersenyawanya institusi pemerintahan modern dengan persona seorang pemimpin, di mana hasrat dan selera sang pemimpin menjadi arsitektur dan ekosistem pemerintahan.

Penyelenggaraan pemerintahan bertumpu pada kekuasaan personal (personal rule) di mana sulit dibedakan antara institusi dan mandatarisnya (office dan officeholder) sehingga tidak ada garis demarkasi antara arena publik dan ranah privat. Penyelenggaraan dan interaksi dalam pemerintahan, antara aparatur dan pemangku kuasa dilandasi oleh loyalitas individual. Relasidemikian didasarkan pada hubungan patron-klien, pertukaran antara loyalitas dan proteksi untuk melakukan aktivitas pemerintahan.  

Praktek bapak-isme ini jamak terjadi di negara-negara Afrika, diantaranya, seperti Kenya, Côte d’Ivoire, Kamerun, dan Angola. Pada negara-negara tersebut, neo-patrimonialisme berpadu-padan dengan sistem tata kelola tradisional bercirikan tribalisme ataupun prebendal. Praktek tata kelola pemerintahan dengan tulang punggung kesukuan (tribal) ini memposisikan pemangku kekuasaan layaknya kepala suku (chief) dalam masyarakat tradisional. Tidaklah mengherankan, dalam langgam pengelolaan pemerintahan demikian, pemangku kekuasaan dan aparatusmenganggap institusi publik, anggaran publik hingga jabatan publik merupakan komoditas yang pantas dibagi-bagikan bahkan diakui sebagai kepemilikan personal (prebend).    

Bapak-isme pada pengejawantahannya berkelindan dengan favoritisme dan nepotisme, isme-isme lain yang secara sengaja disuburkan sebagai bagian dari reward and punishment. Pemberian insentif dan hukuman, kepada aparatur penyelenggara pemerintahan dan kelompok sosial kemasyarakatan merupakan instrument untuk mempertahankan loyalitas (Bratton and van de Walle 1994).

Keberadaan Bapak-isme di Afrika, terbagi kedalam dua skema (Bach 2012). Pertama, “bapak-isme kolaboratif” (regulated patrimonialism) skema dan pendekatan kerjasama antar pemangku kepentingan dengan mempromosikan loyaltas sehingga terbentuk kerukunan antar elit. Pada skema ini, pemangku kekuasaan melakan kooptasi dan redistribusi sumberdaya ekonomi secaramerata dan proporsional. Pendekatan ini mampu meningkatkan daya penetrasi negara ke dalam faksi-faksi politik, kelompok ekonomi serta organisasi kemasyarakatan dan memastikankepatuhan atas aturan main bersama.

Kedua, “bapak-isme pemangsa” (predatory neo-patrimonialism), skema di mana kekuasaan dikelola layaknya kepemilikan personal sehingga tidak hanya batas antara publik dan privat menjadi rancu, akan tetapi yang sangat mengkhawatirkan adalah lumpuhnya institutsi pemerintah dan tata laksana kepemerintahan (Medard 1991). Distribusi sumberdaya ekonomi didasarkan pada skema patronase kepada pengikut loyal dan terjadi diskriminasi pembagian sumber daya ekonomi bagi pihak-pihak yang berseberangan. Pada tipologibapak-ismepemangsa” ini bukan hanya memunculkan kelatahan ABS (Asal Bapak Senang) tetapi muaranyaseperti yang dilukiskan oleh William Reno sebagai shadow state sebagaimana yang terjadi di Sierra Leone.      

Republik Plato

Dalam buku berjudulRepublicPlato membagi Masyarakat ke dalam tiga kelas: pertama kelas Pedagang (merchant class), diposisikan pada tingkatan terendah dalam hirarki masyarakat karena dalam pandangan Plato para pedagang ini hanya mengejar keuntungan materi alias cuan semata. Kedua, kelas Penjaga (guardian class), merupakan orang-orang yang bertugas melindungi Negara dan warganya. Guardian class ini adalah anak-anak pilihan yang dirawat, dibesarkan, diajari beragam hal terkait menjaga warga oleh Negara. Ketiga adalah ruling class, Plato menamakan mereka sebagai philosopher king, sekelompok orang-orang pilihan dengan panduan moralitas, kebijaksanaan demi menghadirkan kebenaran, keadilan dan kebaikan bagi Negara dan Masyarakat.

Negara ideal dalam benak Plato ini diselenggarakan dan dijaga oleh guardian class yang sejak kelahirannya dipisahkan dari orang tua masing-masing. Mereka diasuh, dibesarkan dan memikul tanggung jawab dalam menjaga Negara dan warganya secara bersama. Kebutuhan dasar merekaseperti pangan, sandang, hunian, pendidikan, aktivitas spiritual dan jasmani dipenuhi oleh Negara. Dengan demikian, Plato ingin memastikan para guardian ini memiliki kesamaan nilai, etos melayani dan saling percaya di antara mereka. Dengan memisahkan anak-anak tersebut dari orang tua mereka, maka dorongan untuk membela kepentingan keluarga (nepotisme) atau pun hasrat kolutif serta kepentingan sempit dapat diminimalisir.

Tentu saja guardian class mengikuti panduan dari pemimpin-filsuf. Karakteristik dari Philosopher Kingyang memadukan antara filosofi kebajikan dan ketrampilan politik dalam mengelola negara ini yang diyakini oleh Plato akan teguh memperjuangkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi negara dan masyarakat dan bukan untuk semata-mata demi keluarganya.

Demokrasi Kita

Negara-negara di Amerika Selatan yang terbebas dari rezim otoriter pada pertengahan 80-an, menurut Thomas Carothers sebagian mengalami kutukantransisi demokrasi. Bagaimana dengan Indonesia yang telah menjalani transisi selama seperempat abad sejak tahun 1998 lalu? Tentu saja demokrasi kita mengalami pasang surut. Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah demokrasi mengalami cobaan yang pahit, ia akan munculkembali dengan keinsyafan, tulis Bung Hatta dalam “Demokrasi Kita” (1966).

Jika delapan puluh tahun silam Tan Malaka geram pada fenomena yang ia sebut sebagai ‘Logika Mistika’, maka sekarang kita geram dengan ‘Logika Transaksika’. Politik dikelola dan dijalankan dengan logika transaksional layaknya pedangang melakukan barter komoditi. ‘Logika Transaksika’ ini bersenyawa dengan ‘Bapak-isme’ di mana penyelengaraan negara dipertukarkanaset kepemilikan pribadi demi kepentingan sesaat. Kondisi demikian adalah situasi surutnyademokratisasi.

Adakah jalan untuk mencegah kemunduran demokrasi? Panduan dari Bung Hatta perlu dijadikan pedoman: “…(Menegakkan) Kedaulatan rakyat adalah ‘mendidik rakyat’ supaya tahu berpikir, supaya tidak lagi membebek di belakang pemimpin-pemimpin. Supaya keinsafan rakyat akan hak dan harga diri bertambah kuat dan pengetahuannya tentang hal politik, hukum dan pemerintahan bertambah luas”. Ayo Bung, kita gotong royong mencegah ‘Bapak-isme’ dan surutnya demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus