Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Batalnya Larangan Rapat di Hotel

Keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan larangan bagi pemerintah daerah menggelar rapat di hotel patut disayangkan.

14 Februari 2019 | 07.30 WIB

Batalnya Larangan Rapat di Hotel
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan larangan bagi pemerintah daerah menggelar rapat di hotel patut disayangkan. Presiden menganulir keputusan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sepekan sebelumnya dan langkah itu terlihat diambil secara grasah-grusuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Senin lalu, di hadapan para pengusaha yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Jokowi menyatakan larangan yang dikeluarkan bawahannya itu tak akan diteruskan. Respons Jokowi itu menindaklanjuti kekhawatiran pengusaha bahwa larangan yang dikeluarkan Menteri Tjahjo bakal memukul industri pariwisata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Larangan rapat di hotel dikeluarkan Tjahjo menyusul pemukulan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Hotel Borobudur, Sabtu malam dua pekan lalu. Di hotel itu, Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua menggelar rapat evaluasi atas kajian Kementerian Dalam Negeri terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Papua 2019. Setelah insiden itu, Tjahjo memerintahkan Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri membuat aturan agar pemerintah daerah tak menggelar rapat di hotel, dan urusan dengan kementerian dibahas di kantor kementerian.

Presiden Jokowi seharusnya mempertimbangkan alasan Menteri Tjahjo mengeluarkan larangan itu. Rapat anggaran yang digelar di hotel membuka celah penyalahgunaan anggaran. Rapat pembahasan anggaran secara tertutup, seperti yang digelar Pemerintah Provinsi dan DPRD Papua, jelas meniadakan akses pengawasan oleh publik dan membuka celah kongkalikong antara eksekutif dan legislatif-yang sangat mungkin ditunggangi kepentingan pengusaha. Sudah selayaknya urusan yang menyangkut penggunaan keuangan negara dibahas secara transparan di hadapan publik.

Larangan rapat di hotel sebenarnya bukan baru pertama kali. Pada akhir 2014, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi saat itu, Yuddy Chrisnandi, mengeluarkan kebijakan serupa yang disertai sanksi penundaan kenaikan pangkat bagi birokrat yang melanggar. Sudah jamak terjadi, birokrat gemar menggelar rapat di hotel menjelang akhir tahun untuk menghabiskan anggaran. Menteri Tjahjo pada Januari 2015 mengatakan ada penghematan hingga Rp 600 miliar dengan mengurangi rapat di luar kantor. Namun, setelah diprotes pengusaha hotel dan pemerintah daerah, kebijakan itu dicabut.

Mungkin benar, tidak semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah memiliki ruang rapat yang memadai. Menggelar rapat di hotel bisa jadi lebih murah manakala harus mendatangkan dan menginapkan orang dari daerah. Maka, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan bahwa rapat di luar kantor diadakan sesuai dengan kebutuhan dan bukan semata-mata untuk menaikkan penyerapan anggaran. Pemerintah pun bisa mengurangi biaya pertemuan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang memungkinkan rapat jarak jauh tanpa perlu mendatangkan peserta rapat.

Pengusaha hotel dan restoran sebaiknya juga tak manja dan bergantung pada rapat birokrat. Banyak cara bisa dilakukan untuk mendatangkan pengunjung hotel. Sebaliknya, pemerintah harus bisa mengurangi ketergantungan pada rapat di hotel, sembari menggiatkan pariwisata yang membuat hotel tak kekurangan tamu.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus