Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN presiden pada 9 Juli nanti akan menjadi pemilu dengan jumlah peserta paling sedikit di era reformasi. Mustahil ada muka baru yang tiba-tiba melesat ikut berebut kursi presiden. Kesempatan bagi calon independen dalam pemilu tahun ini tertutup setelah pekan lalu Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden. Majelis hakim konstitusi memutuskan pengusulan pasangan calon presiden hanya oleh partai politik tidak melanggar konstitusi.
Tiga dari sembilan hakim konstitusi membuat dissenting opinion, tapi keputusan Mahkamah sudah final. Sungguhpun terasa kurang demokratis, terutama bagi calon presiden independen, pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 memang menjadi dasar kuat putusan Mahkamah.
Keputusan lain Mahkamah Konstitusi, yaitu tentang presidential threshold, lebih perlu dikritik lantaran kurang tepat. Hakim menyatakan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional sudah sesuai dengan konstitusi. Konstitusi? Tak ada satu pun pasal Undang-Undang Dasar 1945—yang menjadi dasar pembuatan undang-undang pemilu presiden—mengatur ambang batas suara pencalonan presiden. Dengan ambang sebesar itu, praktis hanya partai besar yang mampu mencalonkan presiden, sesuatu yang dianggap tidak mengakomodasi pesan demokrasi.
Paling banter hanya akan muncul empat pasang calon presiden dan wakil presiden. Dua calon di antaranya hampir dapat dipastikan bakal diisi wajah lama: Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati. Seandainya Jusuf Kalla berpisah dengan Yudhoyono, ia mungkin menjadi calon ketiga. Seorang calon lagi barangkali akan diusung gabungan partai. Memang pemilihan akan berjalan kurang menarik, tapi Indonesia memang tak punya stok pemimpin yang cukup.
Dari sisi hak asasi untuk mencalonkan diri sebagai presiden, keputusan Mahkamah Konstitusi terasa tidak adil. Terasa ada diskriminasi antara calon presiden yang didukung partai yang besar dan partai kecil. Tapi pelaksanaan persamaan hak itu memang tak mudah juga dijalankan. Bila batas pencalonan presiden diturunkan menjadi 1 persen, misalnya, akan banyak sekali partai atau gabungan partai yang mencalonkan presiden. Kesulitan pemilu legislatif dengan partai melimpah akan berulang.
Keputusan Mahkamah Konstitusi bisa diterima jika warga membayangkan penyederhanaan jumlah partai politik di kemudian hari. Jumlah 44 partai peserta Pemilu 2009 dirasakan terlalu banyak. Pemilih sulit sekali mengenali anatomi partai satu per satu—lantaran kebanyakan partai tidak menjalankan sosialisasi secara luas. Partai yang memiliki jaringan yang baik, menawarkan program penting dan dipercaya rakyat, yang mampu menjaring suara signifikan. Sangat wajar jika partai seperti ini mempunyai hak lebih besar mencalonkan presiden ketimbang partai yang suaranya tidak signifikan.
Indonesia merupakan negara dengan sejuta masalah. Diperlukan pemerintahan yang efektif pada masa sekarang ini untuk menyelesaikan berbagai masalah tadi. Kondisi itu hanya bisa dicapai jika presiden pemenang pemilu mempunyai sokongan kuat dari partai yang mendukungnya di DPR. Sokongan itu diperlukan agar negosiasi dan kompromi tidak berjalan berlarut-larut tanpa keputusan dan akhirnya mengorbankan rakyat.
Pemerintahan efektif perlu, tapi batas 20 persen dirasakan terlalu tinggi. Sebaiknya batas itu menjadi pekerjaan rumah pada pemilu berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo