Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM pintu pesawat US Air Force yang ditumpanginya tertutup, Kamis siang lalu, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton melambaikan tangan. Ada kesan bersahabat yang dia tinggalkan.
Hillary memang bukan wajah Amerika dari pemerintahan George W. Bush. Ketimbang memberikan kuliah tentang demokrasi atau terorisme yang mengancam, ia mendengarkan aneka pendapat dari sejumlah tokoh negeri ini. Ia tidak datang untuk mendiktekan keinginan Amerika, tapi memenuhi kebutuhan orang lain untuk diperhatikan. Lalu ia menarik kesimpulan yang menyenangkan: ” Kalau Anda mau melihat perkembangan dan keberhasilan demokrasi, Islam, dan peran perempuan, datanglah ke Indonesia.”
Kunjungan singkat Hillary di negeri ini bermakna karena ia berhasil memperlihatkan Amerika yang seakan insyaf atas kesalahan masa lalu. Berkali-kali ia menyebut pendekatan yang menggunakan smart power ketimbang military power dalam kebijakan luar negeri AS. Berkali pula ia menyebut Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara.
Kali ini pemerintah Amerika memang tidak menetapkan Timur Tengah sebagai tujuan pertama muhibah menteri luar negerinya. Indonesia merupakan negara muslim pertama yang dikunjungi Hillary. Dalam lawatan ke Asia, ia juga mengunjungi Jepang, Korea Selatan, dan terakhir Cina. Ia mungkin menghindari satu ironi yang selalu membayangi kebijakan luar negeri pemerintahan George W. Bush.
Menteri luar negeri terdahulu, Condoleezza Rice, mengunjungi Timur Tengah sebagai destinasi pertama. Tapi hingga pemerintahan kaum Republik itu berakhir, agenda Bush untuk mewujudkan perdamaian di kawasan itu jauh dari berhasil. Segala upaya menuju perdamaian tidak bergerak dari satu titik: perundingan di Annapolis, Maryland, 27 November 2001. Saat itu Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas dan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berjanji menuntaskan kesepakatan damai pada akhir tahun lalu. Hingga tenggat itu berlalu, tidak ada satu kemajuan pun yang dicapai.
Sangat beralasan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kekecewaannya. Harapan Indonesia, juga negara-negara Islam, untuk menyaksikan Palestina merdeka belum juga terpenuhi. Dalam hal ini, Indonesia bisa berperan lebih besar. Amerika agaknya tahu potensi ini. Dalam beberapa pernyataannya, Hillary membuka kemungkinan tentang peran Indonesia. Dan inilah momentum baik untuk memainkan peran diplomasi Indonesia di pentas internasional.
Pengakuan dari negara adidaya itu, melalui pernyataan Hillary, merupakan hal penting bagi Indonesia. Tapi tentu saja kerja sama Indonesia-Amerika lebih penting ditindaklanjuti. Ada banyak hal yang lebih praktis dan berguna bagi kedua pihak, misalnya dampak krisis global atau nasib warga Indonesia di Guantanamo. Krisis memaksa Amerika menjalin kerja sama lebih erat dengan negara Asia, termasuk Indonesia. Sebuah kesempatan yang perlu dimanfaatkan untuk perbaikan ekonomi dalam negeri.
Dalam model kerja sama ini pula perubahan kebijakan politik luar negeri Presiden Obama akan dibuktikan. Indonesia perlu ”menagih” bentuk kerja sama atas dasar mutual respect dan keuntungan bersama yang dijanjikan penguasa baru Gedung Putih itu. Tentu saja perubahan itu akan kita rasakan setelah kerja keras para diplomat Indonesia menindaklanjuti kunjungan Hillary.
Kunjungan simbolis Hillary berlalu, banyak kesempatan terbuka, yang tak bisa memberikan manfaat apa-apa jika pemerintah hanya menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo