Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK berlebihan bila dikatakan persiapan pemilu legislatif kritis. Pimpinan Komisi Pemilihan Umum optimistis hajatan demokrasi itu akan berlangsung tepat waktu. Tapi waktu 45 hari tersisa menuju ”hari pencontrengan” 9 April 2009 agaknya terlalu pendek untuk menyelesaikan begitu banyak problem.
Ada masalah serius pada daftar pemilih tetap yang jumlahnya 170 juta. Pemilih tak terdaftar, ditemukan pemilih yang lahir setelah 2008, duplikasi nama, komposisi lelaki dan perempuan di lokasi tak masuk akal, juga pemilih fiktif. Bayangkan: ada keluarga yang didata punya anggota lebih dari 100 orang. Verifikasi ulang dikhawatirkan tak sempat dilakukan di semua daerah karena waktu yang mepet.
Masalah logistik juga mencemaskan. Pencetakan surat suara memang masih dilakukan Komisi Pemilihan Umum di pusat, tapi logistik yang lain ditangani Komisi Pemilihan Umum Daerah. Karena baru pertama kali, di sejumlah daerah pengadaan logistik tersendat dan melewati tenggat.
Satu hal krusial dalam pemilu yang diikuti 38 partai plus 6 partai lokal di Aceh ini, ukuran surat suara sangat lebar sehingga terlalu merepotkan ketika dibuka di bilik suara 60X40X40 sentimeter ”warisan” Pemilu 2004. Untuk mengadakan bilik suara yang semuanya baru sudah tak mungkin lagi, dengan alasan waktu dan dana.
Problem paling serius adalah berubahnya aturan pemberian suara. Sejak 1955, pemilih mencoblos tanda gambar atau nama wakil atau gambar. Undang-Undang Pemilu mengatur suara sah jika pemilih memberi tanda satu kali pada kertas suara. Komisi Pemilihan Umum mengartikan ”memberi tanda satu kali” itu dengan mencontreng. Wajar jika muncul banyak pertanyaan tentang keabsahan surat suara yang dicontreng dua kali atau diberi tanda selain contreng.
Bisa dipahami jika Komisi Pemilihan Umum tidak berani mengeluarkan aturan untuk mengesahkan berbagai cara lain itu. KPU tentu tidak mau memikul akibat hukum sendirian di kemudian hari seandainya muncul gugatan dari calon anggota legislatif atau partai politik. KPU memerlukan payung hukum.
Sangat disayangkan, keputusan tentang payung hukum itu sangat terlambat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Desember 2008 mengadakan rapat bersama KPU, DPR, Mahkamah Konstitusi, Badan Pengawas Pemilu, dan Badan Pemeriksa Keuangan, untuk membahas logistik pemilu. Ketika itu sudah dibahas rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pelaksanaan Pemilu 2009.
Presiden dalam rapat itu tegas berkata, ”Saya bersedia (mengeluarkan perpu) untuk kepentingan rakyat, demokrasi, dan politik asalkan dengan urgensi yang bisa dipertanggungjawabkan.” Entah tersangkut di mana, sampai akhir pekan lalu, peraturan pengganti undang-undang itu belum keluar.
Yang beredar di kalangan wartawan baru draf Perpu yang konon akan keluar pekan ini. Draf itu mengatur, misalnya, pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai, atau nomor urut calon, atau nama calon wakil rakyat, dianggap sah. Tanda dua kali pada tempat-tempat tadi juga dianggap sah. Dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, tanda dua kali pada foto calon bisa diterima.
Kita tahu, beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi membuat keputusan penting. Calon anggota legislatif yang berhak mewakili rakyat tidak lagi ditentukan atas dasar urutan daftar yang dibuat partai, tapi berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh. Draf Perpu tadi juga mengatur keputusan bersejarah itu.
Memang banyak hal akan lebih jelas dengan keluarnya Perpu nanti. Tapi soalnya waktu terus berjalan. Perlu ada sosialisasi yang intens, terutama kepada masyarakat di pedesaan, tentang perubahan aturan pemungutan suara itu. KPU benar-benar perlu membuat rencana kerja rapi dengan ketatnya waktu.
Sampai sekarang, ini mencemaskan, pengetahuan pemilih sangat rendah tentang apa yang harus dilakukan di bilik suara. Simulasi oleh beberapa lembaga menunjukkan tingkat kesalahan dalam pemungutan suara di atas 25 persen. Padahal standar internasional menetapkan angka paling tinggi 3 persen.
Pemilu 2009—yang merupakan ajang kedua di mana warga memilih wakil legislatif, wakil dewan perwakilan daerah, dan presiden secara langsung—harus diselamatkan. Bila banyak suara rusak akibat sosialisasi kurang, akan muncul soal legitimasi pada wakil rakyat dan presiden terpilih. Soalnya legitimasi itu akan semakin serius bila benar dugaan bahwa partisipasi warga rendah dalam pemilu kali ini—akibat gerakan golput, apatisme, kemuakan terhadap praktek politik selama ini, dan seterusnya.
KPU dan mitranya di daerah, juga aparat pemerintah, perlu bekerja sekerasnya dalam waktu yang tinggal satu bulan 15 hari ini. Pemilu memang kritis, tapi sekuatnya perlu diupayakan agar tak terjadi krisis politik dari keadaan serba ”menjepit” ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo