Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT itu sebenarnya bertajuk dengar pendapat, sebuah perhelatan di Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah lama dilembagakan. Pemerintah dan lembaga negara, termasuk badan usaha milik negara, diundang ke Senayan untuk dimintai pendapatnya. Pengertian pendapat di sini adalah kebijakan yang diambil oleh institusi negara itu. Setelah pendapat disampaikan, para wakil rakyat yang terhormat bisa mengajukan pertanyaan untuk memperjelas yang belum terang. Terbuka kesempatan untuk mengajukan usul, koreksi, dan sebagainya, dalam konteks Dewan sebagai lembaga yang punya fungsi pengawasan. Jadi, keduanya saling berpendapat dan mendengarkan.
Rapat ini bukan ruang pengadilan di mana wakil rakyat seolah-olah bertindak sebagai hakim yang mengadili tamunya. Kesan seperti itulah yang muncul secara jelas—dan itu amat memalukan—pada saat direksi Pertamina diundang ke DPR. Seorang anggota wakil rakyat menyebutkan, direksi Pertamina masih perlu belajar, belum saatnya menjabat posisi itu, bahkan kemudian terlontar ucapan yang menyetarakan direksi Pertamina dengan satpam (satuan pengamanan).
Bukan saja arogansi yang dipamerkan wakil rakyat, melainkan juga sikap jumawa seolah dirinya di atas segalanya: paling tahu, paling pintar, paling benar. Padahal, wakil rakyat periode ini mendapat sorotan karena kinerjanya yang tidak baik, suka membolos, beberapa terlibat suap dan ada yang sampai dihukum.
Menyangkut etika, kejadian itu betul-betul tak pada tempatnya. Direksi Pertamina tidak ditunjuk oleh DPR, tak ada hak DPR menggugat kemampuan mereka. Jika pun mau mempersoalkan kemampuan direksi, protes hendaknya disampaikan kepada ”yang mengangkat” dan bukan kepada ”yang diangkat”. Seandainya pun direksi Pertamina ditanya soal kemampuan, hendaknya disampaikan dengan bahasa yang baik, agar tak timbul kesan DPR mencampuri urusan ”dalam” Pertamina. Apalagi, entah apa maksudnya, selama ini ada rumor anggota DPR begitu galak kepada BUMN yang ”basah”, sementara rapat dengan BUMN yang ”kering” tak banyak dihadiri anggota Dewan.
Dari pengalaman itu, mungkin Direksi Pertamina mengingatkan DPR dengan melayangkan surat karena rapat menyimpang dari pokok bahasan. Jangankan bisa ”meluruskan” soal rapat, yang terjadi malah sebaliknya, memunculkan ketegangan baru. Anggota DPR kembali menunjukkan ”gigi”. Dengar ucapan Sony Keraf, pimpinan rapat, yang menyebutkan: ”Anggota berhak menanyakan apa saja, (surat) ini sama dengan mengintervensi DPR,” kata Sony. Jika ”apa saja” itu masih dalam wilayah kebijakan yang diambil direksi Pertamina, ada benarnya. Namun, jika ”apa saja” itu menyangkut urusan pribadi—misalnya kalimat ”masih perlu belajar, belum saatnya memimpin, sama dengan satpam”, dan seterusnya— ini sudah di luar jalur.
Sebaliknya, Karen Agustiawan, yang kini memimpin Pertamina, jangan larut dengan masalah ”sepele” ini. Membenahi Pertamina hendaknya tetap menjadi fokus kerja. Tak perlu ngambek, jangan pula menyerah kepada wakil rakyat, apalagi dengan ”berbaik hati berlebihan” yang bisa-bisa menimbulkan skandal. Seperti yang diamanatkan Presiden ketika melantik direksi Pertamina, badan usaha negara yang vital ini harus kebal dari setiap intervensi.
Ketegangan dengan DPR ini toh tak akan berpanjang-panjang. Sebentar lagi pemilu, semoga terpilih wakil rakyat yang lebih santun dan cerdas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo