Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian di Kabupaten Batanghari, Jambi, semestinya lebih melek hukum dan peraturan sebelum mengetuk palu memvonis terdakwa. Menghukum anak 15 tahun dengan tuduhan menghilangkan nyawa karena mengaborsi bayi akibat diperkosa kakaknya sendiri adalah vonis yang tidak adil, tak hati-hati, dan menunjukkan kurangnya pengetahuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim seharusnya tidak hanya berpatokan pada satu undang-undang ketika menjatuhkan vonis. Undang-Undang Perlindungan anak memang mempidana pelaku aborsi. Tapi Pasal 77a itu dengan sendirinya teranulir jika pelaku aborsi merupakan korban pemerkosaan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Reproduksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WA, pelaku aborsi itu, stres karena hamil setelah diperkosa kakaknya sendiri sejak akhir 2017. Ia memutuskan mengaborsi bayinya ketika kandungan berusia enam bulan pada Mei lalu.
Tanpa menimbang banyak aturan, hakim memvonis WA 6 bulan bui plus 3 bulan pelatihan kerja. Hakim menutup mata terhadap kasus utama pemidanaan aborsi ini. Mereka mengabaikan fakta bahwa pada saat yang sama pengadilan juga memvonis AS, pemerkosa yang dua tahun lebih tua, 2 tahun penjara plus 3 bulan pelatihan kerja.
Artinya, kait-kelindan kasus ini sangat terang benderang. Aborsi oleh WA itu tak berdiri sendiri. Ada penyebabnya, yakni pemerkosaan oleh kakaknya sendiri. Lagi pula mereka adalah anak-anak. Dalam prinsip hukum, memenjarakan pelaku kejahatan di bawah umur ditujukan untuk membuatnya memahami hukum, bukan untuk menghukumnya.
Kemalasan hakim mencari referensi sebelum menjatuhkan vonis juga terlihat pada ketiadaan pertimbangan hukum. Jika hakim Muara Bulian suka membaca dan mau melakukan riset kecil-kecilan, yurisprudensi pemakaian Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Reproduksi dalam memperlakukan penghilangan nyawa oleh korban pemerkosaan ada di Jakarta Selatan.
Pada Juli 2017, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan BL, 15 tahun, yang dituduh membunuh bayinya sendiri. BL adalah korban pemerkosaan yang tak tahu sedang hamil. BL menyangka bayi yang ia lahirkan adalah darah flek, sehingga ia membuangnya ke tong sampah rumah majikannya di Kebayoran Baru.
Jaksa menuntutnya 8,5 tahun penjara, lebih tinggi dari tuntutan maksimal kepada pelaku aborsi yang masih anak-anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, yakni 7,5 tahun. Namun, saat sidang vonis, hakim membebaskan BL dengan memakai Undang-Undang Kesehatan dan UU Reproduksi.
Tanpa memakai asas normatif sekalipun, hakim Muara Bulian seharusnya membebaskan WA dengan alasan-alasan yang sama seperti BL. Perkara yang mendunia karena disorot lembaga hak asasi internasional ini semestinya menjadi tamparan keras kepada para pekerja hukum-polisi, jaksa, dan hakim-agar lebih adil terhadap korban pemerkosaan.