Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Begitu Sulitkah Menjerat Nunun

29 November 2010 | 00.00 WIB

Begitu Sulitkah Menjerat Nunun
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

MENETAPKAN Nunun Nurbaetie sebagai tersangka wajib menjadi prioritas pertama Busyro Muqoddas, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis pekan lalu. Nunun diduga keras mengetahui sumber yang me­ngu­curkan cek pelawat senilai Rp 24 miliar untuk menyogok anggota DPR dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.

Busyro pasti paham bahwa kasus Nunun merupakan satu dari sekian ”keajaiban” negeri ini. Perempuan 61 tahun itu adalah istri mantan Wakil Kepala Kepolisian RI. Bahkan Adang Daradjatun, sang suami, sekarang duduk sebagai anggota DPR (dari Partai Keadilan Sejahtera), lembaga yang tugasnya menciptakan undang-undang. Adang juga Ketua Persatuan Angkat Berat-Binaraga-Angkat Besi Seluruh Indonesia, yang menjadi wakil Indonesia dalam berbagai kejuaraan di mancane­gara. Sulit dipahami bahwa sang istri memilih lari ke luar negeri ketimbang memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebelum lari pun Nunun hanya sekali memenuhi panggilan komisi antikorupsi. Jawaban yang diberikan ketika itu—kebanyakan ”lupa” atau ”tidak tahu”—sama sekali tak membantu mengungkap kasus ini, bahkan me­nimbulkan kecurigaan ia menyembunyikan hal penting. Ketidakpatuhan Nunun pada hukum juga tampak ketika ia mengabaikan panggilan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang menetapkannya sebagai saksi persidangan empat anggota DPR yang menjadi terdakwa.

Alasan bahwa Nunun menderita ”hilang ingatan” sehingga perlu dirawat di Singapura, seperti keterangan Adang dan dokter pribadi Nunun, perlu dicek ulang oleh tim dokter yang ditunjuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau KPK. Sebab, penelusuran Tempo menunjukkan ia masih seperti dulu: gemar belanja dan suka bepergian. Dua kegiatan menyenangkan itu oleh dokter pribadi Nunun disebut sebagai bagian dari terapi. Tempo mendapat sumber yang mengetahui, misalnya, Nunun menyeberang ke Bangkok, Thailand, pada Lebaran lalu. Seorang tokoh juga melihatnya menenteng tas merek ternama di Orchard Road, pusat belanja di Singapura.

Memang, ketika ia pergi, statusnya masih bebas. Meski dicegah ke luar negeri pada April lalu atau sebulan setelah ia terbang ke Singapura, ia belum ditetapkan menjadi tersangka. Padahal, menurut keterangan beberapa saksi, 480 cek pelawat masing-masing senilai Rp 500 juta menyebar ke Senayan atas perintahnya. Ketika itu pemi­lihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dimenangi Miranda Swaray Goeltom, teman sosialita Nunun.

Dengan fakta yang diungkap saksi di peng­adilan, Nunun pantas dijadikan tersangka. Arie Malangjudo, mantan bawahannya, mengaku diperintah kolektor tas mewah itu mengantarkan tas-tas berisi cek buat anggota empat fraksi di Komisi Perbankan Dewan periode 1999-2004. Hamka Yandhu, politikus Partai Golkar penerima cek dan terpidana kasus ini, juga menyatakan berhubungan dengan Nunun. Alhasil, membuktikan keterlibatan Nunun sesungguhnya tidak terlalu rumit.

Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini terlalu ”berprasangka baik”. Mereka berasumsi Nunun hanyalah perantara pemberi cek. Menjeratnya sebagai tersangka dianggap akan menutup jalur buat mengejar sang bandar. Terjebak asumsi itu, KPK tak bergerak. ”Ongkos”-nya mahal: Komisi Pemberantasan Korupsi dicap hanya berani menjerat penerima suap dan kecut menghadapi penyogoknya.

Sejauh ini, baru empat anggota Dewan 1999-2004 yang dijerat kasus ini. Dari empat itu, Hamka Yandhu dihukum dua setengah tahun penjara, tiga politikus lainnya divonis masing-masing dua tahun. Dengan bekal vonis empat orang ini, semestinya KPK tak cuma menjadikan 26 orang anggota DPR lainnya tersangka, tapi juga langsung menahan mereka.

Toh, tanpa tambahan keterangan dari 26 orang tersangka ”baru” tadi, keterlibatan Nunun sudah begitu jelas. Ketika membacakan vonis buat Hamka cs di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Mei lalu, hakim Andi Bachtiar menyatakan Nunun terlibat kasus ini. Kalaupun Nunun tak bisa hadir—seperti anjuran hakim Andi—ia tetap bisa diadili secara inabsentia.

Nunun sebaiknya segera pulang untuk menghadapi kasus ini. Jika itu tidak dilakukan, Komisi Pemberantasan Korupsi punya aneka cara bertindak. Yang pertama tentu menetapkan Nunun sebagai tersangka. Dengan status itu, KPK bisa mencabut paspornya. Jaringan Interpol juga bisa digunakan untuk mengejar istri mantan perwira tinggi kepolisian itu.

Ketua baru KPK, dengan masa tugas tak sampai setahun lagi, mesti bekerja cepat menangani kasus kakap seperti ini. Ia tampak ”terlalu kalem” ketika memimpin Komisi Yudisial, tapi siapa tahu kedatangan Busyro akan melahirkan semangat bushido di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus