Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFLIK terbuka antara Satuan Polisi Pamong Praja dan penduduk di sekitar Kampung Pulo, Jakarta Timur, merupakan buah kebijakan yang dijalankan dengan amarah. Penduduk yang rumahnya digusur murka karena menganggap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ingkar janji. Ahok-demikian Basuki disapa-main sikat karena menilai penduduk mau seenaknya sendiri. Satu alat keruk dibakar massa dan sejumlah orang terluka dalam insiden itu.
Sebermula adalah rencana pemerintah DKI memperluas bantaran Sungai Ciliwung yang menyempit akibat "reklamasi" yang dilakukan penduduk. Menjadi salah satu solusi mencegah banjir, rencana ini merupakan cita-cita yang lebih dari empat dasawarsa tak terwujud. Ahok menuding penduduk ngeyel. Penggusuran yang sedianya dilakukan pada 2013 ditunda dua tahun sesuai dengan permintaan penduduk-menunggu rumah susun sederhana sewa (rusunawa), yang akan menjadi tempat penampungan, selesai dibangun.
Setelah rusunawa tersedia, penduduk mengulur waktu lagi dengan alasan menunggu berakhirnya bulan Ramadan. Sampai akhirnya mesin backhoe menghantam permukiman kumuh itu, masih banyak penduduk yang tak mengambil kunci rumah susun. Penduduk menilai Ahok ingkar janji.
Dalam satu pertemuan dengan penduduk dan Komunitas Ciliwung Merdeka-perkumpulan yang mendampingi penduduk Kampung Pulo-Ahok dipercaya menerima konsep kampung susun. Permukiman bertingkat seperti rumah panggung itu akan dibangun di lokasi tanpa memindahkan penduduk. Pada musim kemarau, bagian bawah panggung akan menjadi taman dan tempat bermain. Pada musim hujan, kawasan itu dibiarkan tergenang.
Komunitas Ciliwung Merdeka menilai konsep ini terbaik karena tak mengubah kultur kampung yang sudah ada sejak 1930 itu: interaksi warga tetap terpelihara. Tapi Ahok kemudian berang karena penduduk meminta ganti rugi atas tanah dan bangunan yang mereka tempati. Ahok menolak karena tak satu pun penduduk dapat menunjukkan sertifikat, syarat penggantian seperti yang diatur undang-undang. Rumah-rumah di Kampung Pulo juga dibangun tanpa dilengkapi izin.
Ketegasan Ahok pantas dihargai, tapi perlawanan penduduk sebaiknya juga tak dilihat semata-mata karena mereka gagal meraup untung dalam proyek ini. Harus diakui, pemerintah gagal memasyarakatkan gagasannya dengan baik. Pembatalan rencana awal membuat sodetan Ciliwung-digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diperkuat peraturan pemerintah di era Gubernur Joko Widodo-tak sepenuhnya diketahui penduduk. Rencana Ahok membangun rumah susun di lokasi juga tak disosialisasi dengan baik.
Ahok selayaknya tidak menutup mata: bagaimanapun, penyempitan Ciliwung akibat pembangunan rumah liar tidak ditindak selama bertahun-tahun. Pemerintah bahkan memberi kartu tanda penduduk, mengalirkan listrik, dan membubuhkan nomor rumah pada bangunan-bangunan liar tersebut-korupsi administrasi yang dilakukan aparat pemerintah daerah.
Kini Kampung Pulo sudah rata tanah. Sebagian besar penduduk sudah pindah ke rusunawa. Leluasa membangun kembali kawasan itu, Ahok semestinya tidak memaksakan pembangunan rusunawa baru di lokasi gusuran. Ia sedianya mempertimbangkan pembangunan kampung susun. Dibuat berdasarkan riset sosial dan arsitektur, kampung baru itu akan menjadi ciri khas Kampung Pulo-nama yang berarti desa pulau.
Ketegasan Ahok layak dipuji. Tapi ia sepatutnya mengkombinasikannya dengan keinginan memanusiakan manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo