Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK pelajaran bisa dipetik dari keputusan pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, 14 September lalu. Pengadilan yang dipimpin hakim ketua D.A. Schreuder itu memutuskan pemerintah Belanda bersalah dan harus memberi kompensasi kepada para janda korban pembantaian di Rawagede.
Pembantaian di tempat yang kini dikenal sebagai Balongsari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, itu terjadi 63 tahun silam—tepatnya pada 9 Desember 1947. Ketika itu Belanda melancarkan "Aksi Polisionil I". Berusaha mengobrak-abrik sarang para pejuang kemerdekaan yang dipimpin Lukas Koestarjo, yang mereka sinyalir berada di Rawagede, pasukan agresor itu kecewa ketika tak mendapatkan buruannya. Sasaran beralih ke penduduk sipil. Lebih dari 431 orang terbunuh, meskipun Belanda pada mulanya hanya mengakui 150 korban jiwa.
Sejak itu tragedi kejahatan terhadap kemanusiaan ini tak pernah diurus serius, bahkan oleh pemerintah Indonesia. Barulah pada 2008, sepuluh janda dan korban peristiwa Rawagede mengajukan gugatan ke pengadilan sipil di Den Haag. Dalam hal ini tak bisa dilupakan usaha Yayasan Rawagede dan Komite Utang Kehormatan Belanda yang diprakarsai Jeffry Pondaag, warga negara Indonesia yang menetap di Belanda. Mereka berhasil menemukan pengacara andal dari Leiden, Prof Liesbeth Zegveld, yang berpengalaman membela korban perang di Srebrenika, Kenya, dan Palestina.
Pada 2007, sebetulnya, ketika berkunjung ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menyatakan "penyesalan" atas tragedi Rawagede. Tapi tak ada permintaan maaf, apalagi pengakuan bersalah. Utusan pemerintah Belanda ketika itu malah membagi-bagikan uang Rp 80 ribu kepada para janda dan korban yang masih hidup—sesuatu yang lebih pantas dianggap sebagai penghinaan.
Di pengadilan, pemerintah Belanda sempat berkelit dengan menyatakan peristiwa itu sudah kedaluwarsa. Tapi argumen Prof Liesbeth sangat jitu: eksekusi tanpa proses hukum merupakan kejahatan yang sangat serius dan karena itu tidak mengenal tenggat. Pengadilan menerima argumen ini. Apalagi, secara de jure, dari sudut pandang Kerajaan Belanda, penduduk sipil Rawagede ketika itu masih kawula Hindia Belanda.
Tanggapan pemerintah Indonesia yang adem-ayem belaka atas keputusan itu terasa agak ganjil. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya menyatakan "pemerintah Belanda harus bayar", komentar yang cuma layak beredar di kalangan orang jalanan. Adapun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut juru bicaranya, tidak lebih dari sekadar "menyambut baik" putusan pengadilan sipil di Den Haag itu. Respons ini tentulah sangat normatif, tapi memang sudah bisa diduga sejak awal.
Yang patut dikhawatirkan, sikap dingin pemerintah itu bertolak dari kecemasan akan tuntutan penyelesaian kasus-kasus serupa di dalam negeri. Sampai saat ini banyak kasus pelanggaran hak asasi yang belum terungkap, dari pembunuhan massal 1965, kasus Talangsari, Tragedi Semanggi, sampai pembunuhan penggiat hak asasi manusia Munir, yang kasusnya baru seumur jagung.
Para pejuang hak asasi manusia perlu belajar dari kasus Rawagede: jangan pernah berhenti berjuang. Negeri ini juga perlu mencari seorang "Liesbeth Zegveld", pengacara yang tidak saja ahli di bidangnya, tapi juga pembela hak asasi manusia yang gigih. Sebaliknya, pemerintah jangan berharap kejahatan kemanusiaan bisa kedaluwarsa dan terlupakan. Hanya pemerintah tanpa hati nuranilah yang bisa melupakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo