Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik tak bisa dikurung di satu tempat. Politik tak hanya berkisar di sejumlah lembaga. Bahkan partai, parlemen, dan pemerintahan bukanlah ruang dan waktu politik yang sebenarnya.
Penghitungan suara, adu kata-kata yang setengah jujur dan yang culas, kalkulasi yang tak bisa dielakkan untuk memenangi pemilihan umum yang akan datang—semua itu "politik" dalam arti yang terbatas: sebuah persaingan kekuatan. Di situ belum ditegaskan, persaingan antara siapa dan siapa.
Dalam teori, apa yang terjadi di lembaga-lembaga itu merupakan gema dari yang di luar, di jalan, di tengah sawah-ladang, di laut dan pantai dan wilayah hutan, di tambang minyak dan mineral. Tapi ada yang salah dalam anggapan ini.
Terutama ketika hampir tiap hari kita saksikan betapa tak produktifnya parlemen melahirkan legislasi, betapa korup dan angkuhnya para politikus yang duduk di dalamnya, betapa jauhnya lembaga-lembaga itu—DPR, kabinet, aparat penegak hukum—dari orang-orang yang teraniaya. Terutama ketika yang teraniaya itu mereka yang tak masuk hitungan dalam percaturan kekuasaan: umat Ahmadiyah yang dibakar rumah ibadahnya dan diusir bahkan dibunuh, orang Kristen yang dicegah menggunakan gereja mereka, buruh tambang yang digaji begitu tak adil, pekerja seks yang diusir, seniman yang dilarang karyanya….
Agaknya kita perlu meninjau kembali, benarkah sistem yang kita kenal kini—katakanlah "demokrasi liberal"—merupakan format yang tak punya alternatif lain.
Kita mulai dengan parlemen, lembaga yang berperan sentral dalam sistem itu. Kata yang lazim dipakai untuk parlemen adalah "representasi". Dalam bahasa Indonesia: "perwakilan". Yang pertama menunjukkan ada yang dihadirkan kembali, dari kata re-present. Yang kedua lebih jelas bagi apa yang ingin saya kemukakan: wakil bukanlah yang diwakili; wakil dari X bukanlah X yang [seakan-akan] dihadirkan kembali. Antara yang "mewakili" dan yang "diwakili" ada persamaan posisi, tapi masing-masing oknum yang berbeda.
Oknum yang diwakili, dalam tatanan demokrasi, adalah "rakyat". Penamaan ini saja sudah sebuah problem. Sebab dengan demikian diasumsikan ada sesuatu yang bisa diidentifikasikan: sesuatu yang utuh dan tetap. Tapi bahkan sehimpun pemilih sebuah partai politik—apalagi seluruh "rakyat"—tak pernah selamanya berada dalam ruang dan waktu yang sama. Tak ada identifikasi yang tak meleset. Tak ada identitas yang tak berubah.
Perubahan itu menyebabkan "representasi" selalu tak memadai. "Rakyat" yang menurut hukum diwakili di sana sering merasa tak diperhitungkan. Los indignados, "kaum yang amarah", ratusan ribu orang yang berkumpul di Puerta del Sol, di ibu kota Spanyol yang "demokratis", adalah contohnya. Mereka mencoba menggugat demokrasi yang bagi mereka tak mengajak mereka ikut serta dalam keputusan untuk publik.
Memang, dengan segera Puerta del Sol sepi kembali. Amarah ribuan orang itu dijinakkan—dengan pemilihan umum, misalnya. Sudah tentu, lembaga yang ada dengan sendirinya berusaha agar "kaum yang amarah" tak mencederainya. Sang lembaga harus kukuh dalam sistem dan prosedurnya sendiri. Maka perwakilan yang tak memadai itu pada akhirnya memagari apa yang tengah dan akan berubah. Lembaga menegakkan tata. Lembaga, dalam istilah Jacques Rancière, adalah "Polisi". Di sana politik diambil alih, tapi juga dibekukan.
Tapi ada yang mustahil. Tiap rezim mengandung ketegangan. Di satu pihak ia bertolak dari asumsi kesetaraan: antara yang mengatur dan yang diatur tak ada celah dalam kapasitas, hingga kebijakan diharapkan akan dipahami dan diikuti. Tapi di lain pihak tiap rezim bertolak dari hierarki.
Dengan kata lain, Polisi akan selalu ada, tapi selalu ada juga sikap yang menampung asumsi kesetaraan yang mendasari sistem politik modern. Pada gilirannya sikap itu bertahan, bahkan akan selalu jadi gerak yang melawan hierarki.
Gerak itulah politik. Politik, kata Rancière, "tak dapat didefinisikan semata-mata sebagai pengorganisasian sebuah komunitas". Politik juga tak bisa disamakan dengan "pengisian tempat pemerintahan". Politik selamanya adalah "alternatif bagi tata Polisi yang mana pun".
Dewasa ini, beberapa dasawarsa setelah "demokrasi liberal" dinyatakan sebagai pemenang di akhir sejarah—setelah rezim-rezim yang menyebut diri "demokrasi rakyat" atas nama sosialisme runtuh—orang memang makin merasa tepuk tangan itu terlalu cepat. Makin terasa ada pintu yang tertutup. Ada suara-suara yang jadi terasing, atau tak diakui, atau tak diperhitungkan. Jurang antara "wakil" dan yang "diwakili" terasa membentang. Representasi hanya membentuk sebuah kerowak. Pintu itu harus dijebol.
Tapi tak mudah: perubahan senantiasa membentuk masyarakat. Dalam perubahan itu, akan ada "kaum yang amarah" baru, yang menerabas "pengorganisasian sebuah komunitas". Kecuali apabila tak ada lagi hierarki dan tak ditegakkan lagi lembaga. Namun, seperti disebut tadi, Polisi akan selalu ada. Apa boleh buat.
Memang kita tak bisa berbicara tentang optimisme di dalam hal ini: pembebasan manusia dari tata yang lama akan selalu berakhir dengan benturan ke dinding tata yang baru. Tapi pada saat yang sama kita tak bisa menawarkan pesimisme, sebab perlawanan akan selalu terjadi terhadap tata yang eksklusif. Politik akan selalu hidup, dengan gejolak yang bermacam-macam.
Tapi dengan demikian setidaknya kita menyadari, sebuah demokrasi tak berhenti dalam satu bentuk. Tanpa, seperti kata Marx, kita tergoda "menulis resep untuk kedai masa depan"—karena kita tak mampu—pada akhirnya kita harus membayangkan politik sebagai arus yang belum berhenti. Bukan tebing.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo