SEORANG wisatawan tersesat di sebuah kampung. Kepada seorang petani ia bertanya, "Pak, mana jalan yang terdekat ke kota?" Pak Tani hanya menggeleng sambil berkata bahwa ia tak tahu. Wisatawan itu menjadi jengkel dan berkata, "Kamu bodoh sekali, ya?" Petani itu dengan tenang menjawab, "Mungkin saya memang bodoh. Tetapi, yang sekarang ini tersesat bukanlah saya." Kisah itu mirip dengan kisah lain tentang seorang wisatawan yang bertanya kepada seorang petani, "Kalau saya ambil jalan ini lurus saja, berapa kilometer lagi saya akan tiba di kota?" Jawab petani: 50 kilometer. Wisatawan itu pergi setelah mengucap terima kasih. Tetapi, sebentar kemudian ia kembali ke petani yang tadi. "Lho, orang lain ternyata memberi tahu saya bahwa kalau saya ambil belokan yang ke kiri, jaraknya hanya tiga kilometer. Kenapa kamu tak mengatakannya kepada saya?" tanya wisatawan itu dengan gusar. Petani itu dengan tenang menjawab, "Itu 'kan bukan yang Anda tadi tanyakan?" Dua kisah di atas memang merupakan kisah dari mulut ke mulut. Saya tak tahu pasti kebenarannya. Tetapi kisah berikut ini benar-benar terjadi. Seorang dosen menerima keluhan dari mahasiswanya mengenai sedikitnya buku tentang jurnalistik yang tersedia di perpustakaan. Dosen itu lalu menyuruh mahasiswanya pergi ke perpustakaan lagi untuk mencatat semua judul buku di perpustakaan tentang jurnalistik. Mahasiswa, setelah seminggu, datang kembali dan menyerahkan daftar buku yang dimaksud. Ternyata, ada lebih dari 25 judul. Dosen pun bertanya, "Lalu, ada berapa judul yang sudah kau baca?" Mahasiswa pun terjengak. "Lho, Bapak 'kan cuma menyuruh saya membuat daftarnya?" Kisah-kisah seperti itu tak akan habis-habisnya. Dan Kiat harus ganti judul rubrik dulu kalau saya mau meneruskan kisah-kisah seperti itu. Tetapi, toh ada pelajaran yang dapat ditarik dari kisah-kisah itu, bahwa: apa yang kita tanyakan dan apa yang kita suruhkan, itulah yang akan kita terima. Ada ungkapan dalam bahasa Inggris: silly qestion deserves silly answer. Bagaimana caranya kita berbicara supaya orang mendengar dan melakukan apa yang kita minta lakukan, dan sebaliknya, bagaimana caranya kita mendengar supaya orang lain mau berbicara. Ini hal pelik yang agaknya menjadi prioritas pelajaran bagi para eksekutif. Di antara teman-teman saya ada seorang yang kini menjadi amat doyan berpidato. Tanpa diundang pun, ia akan secara sukarela menyampaikan pidatonya. Selain tak pernah pendek, ia pun tak pernah mau dipotong pembicaraannya. Teman-teman yang sudah terlalu sering mendengar pidatonya menyimpulkan bahwa pidato teman yang satu ini selalu terdiri atas tiga bagian. Pembagiannya mirip Johari Window-nya psikologi. Bagian pertama adalah bagian yang dia ketahui dan kami juga mengetahuinya. Bagian kedua adalah bagian yang dia tahu, tetapi kami tak tahu. Bagian ketiga, yang paling membosankan, adalah bagian yang sama-sama tak diketahui oleh semua pihak. Sebuah kemubaziran yang komplet. Komunikabilitas, selain ditentukan oleh struktur organisasi, juga sering ditentukan oleh cara pimpinan tertinggi berkomunikasi dengan bawahannya. Bila atasan selalu memotong pembicaraan bawahannya, akan sulit diharapkan bawahan mau berbicara lagi. Sebaliknya, bila atasan selalu menciptakan situasi yang kondusif untuk menyatakan pendapat secara terbuka, maka ia akan memperoleh masukan yang penting dari semua lapisan karyawannya. Ir. Ciputra, Presiden Direktur Pembangunan Jaya, adalah orang yang dikenal gigih dalam mempertahankan pendapat. Tetapi ia juga seorang pemimpin yang bisa mendengar dengan baik. Bila ia mengemukakan pendapat dalam sebuah pertemuan, dan ternyata ada seorang atau lebih yang tidak dapat menerima gagasan itu, maka ia akan menunda pengambilan keputusan sampai rapat berikutnya. Mungkin sekali dalam rapat berikut ia tidak akan mengubah gagasannya. Ia bahkan memperkuat alasan mengapa ia ingin menjalankan gagasannya itu. Dengan cara itu, mereka yang semula tidak sependapat dengannya sudah merasa cukup puas karena pendapatnya sudah dipertimbangkan oleh pimpinan. Pada kesempatan lain, orang itu tidak akan merasa sia-sia mengajukan saran dan gagasannya secara jujur. "Orang pasti mempunyai alasan untuk menyatakan ketidaksetujuannya," kata Ciputra. Dan alasan itulah yang dihargai Ciputra. Ketika harus memilih satu dari dua foto para direktur Pembangunan Jaya, empat direktur -- termasuk Ciputra sendiri memilih foto yang menunjukkan empat direktur duduk di kursi dan dua direktur berdiri di belakang. Tetapi, dua direktur yang lain memilih foto yang dari segi komposisi memang lebih buruk, yaitu keenam direktur berdiri berjajar. Ciputra termenung sejenak. Dengan cepat ia menangkap alasan mengapa kedua direktur itu tidak memilih foto yang pertama. Karena justru pada foto pertama itu keduanya berdiri, sehingga seolah-olah mereka berdua kurang penting dibandingkan dengan empat direktur lainnya. Alasan itu sudah cukup untuk membuat Ciputra mengubah pilihannya kepada foto yang kedua. Ia telah mendengar sesuatu yang bahkan tak diucapkan. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini