Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
H.S. Dillon
Executive Director of Center for Agricultural Policy Studies
BERAS, ternyata, merupakan komoditi politis. Pada zaman Orde Lama, jatuhnya pemerintahan Demokrasi Terpimpin lebih disebabkan oleh kebutuhan beras penduduk yang tidak terpenuhi. Demikian pula pada zaman Orde Baru. Ini tak mengherankan karena data BPS 1993 menunjukkan, untuk kelompok pengeluaran rendah di tingkat pedesaan dan perkotaan, pembelanjaaan untuk beras mencapai 40,54 persen dan 34,26 persen. Sebagian besar rakyat kita masih berada pada tingkat ini.
Beras pun merupakan komoditi andalan dalam ketahanan pangan nasional. Krisis pangan yang terjadi pada pertengahan 1997 akibat kegagalan pimpinan sektor pertanian mengantisipasi kemarau panjang turut memperparah krisis. Akibatnya, kita terpaksa mengimpor beras 5,8 juta ton pada 1998impor beras kita yang terbesar dalam sejarah. Masuknya IMF dengan letter of intent-nya semakin memperkeruh kondisi perberasan kita dengan dampak yang paling nyata pada kesejahteraan petani. Pencabutan subsidi pupuk, misalnya, merupakan suatu kekeliruan mendasar. Padahal, Common Agriculture Policy (CAP) di Eropa saja pada 1997 masih menyubsidi petaninya US$ 40 miliar. Demikian pula pembebasan bea masuk impor beras. Kedua kebijakan tadi membuat nasib petani kita semakin memprihatinkan, yang terlihat dari merosotnya nilai tukar petani di sejumlah provinsi penghasil utama beras. Data BPS menunjukkan, pada 1996 nilai tukar petani di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung sebesar 109, 107, dan 78,7 , dan terus merosot hingga November 1998 sebesar 94,3, 104,3, dan 72,8. Kondisi ini sangat ironis. Sebab, sebenarnya produktivitas padi kita tertinggi di kawasan ASEAN. Pada periode 1990-1996, rata-rata produktivitas padi kita 4,3 ton per hektare, sementara Thailand dan Malaysia baru mencapai 2,24 dan 3,06 ton per hektare. Dengan menyimak data di atas, tidak dapat dimungkiri bahwa kesalahan dan kekeliruan perberasan kita selama ini terletak di luar usaha taninya. Tidak berpihak pada rakyat kecil memang merupakan perilaku ancient regime. Campur tangan IMF secara serta-merta menghapus segala bentuk instrumen stabilisasi harga beras, termasuk mentransformasi kelembagaan perberasan di Tanah Air. Kebijakan IMF yang membatasi wewenang kerja Bulog dan memberikan kesempatan kepada pelaku bisnis lainnya untuk turut mengatur tata niaga beras menjadi penyebab utama terpuruknya perberasan nasional. Pada saat tata niaga impor berada dalam genggaman Bulog, masalah perberasan yang disebabkan oleh disparitas harga antara beras impor dan beras petani tidak pernah mengganggu. Walaupun Bulog telah menjadi sapi perah bagi berbagai kelompok sedari awal, ketika tata niaga beras dilepas, perberasan kita semakin tidak keruan. Seharusnya kita belajar dari pengalaman bahwa saat peran Bulog digantikan oleh koperasi, justru bermunculan beras oplosan. Perubahan lingkungan strategis internal lainnya yang cukup berpengaruh terhadap petani kita adalah perubahan Bank Indonesia menjadi independen. Hal ini sangat berpengaruh dalam pengucuran kredit pada saat dibutuhkan petani. Kebijakan pemerintah yang menyerahkan pembiayaan kredit komersial tidak dapat berjalan karena kebijakan dan kelembagaan pendukung belum dipersiapkan. Meskipun bea masuk telah diterapkan dan rencana pembelian gabah telah dirancang, harga dasar gabah masih sekitar 15 persen lebih rendah dari harga dasar gabah yang ditetapkan. Laporan Bulog menyebutkan, harga rata-rata gabah di tingkat KUD pada Januari 2000 sebesar 86,1 persen dari harga patokan lama. Melihat kondisi di atas, seharusnya satu-satunya lembaga yang dipercaya untuk mengatasi dan membantu setiap permasalahan para petani adalah Departemen Pertanian. Akan tetapi, pimpinan Departemen Pertanian tidak memperlihatkan usaha yang sungguh-sungguh untuk menetapkan dan mempertahankan harga dasar gabah yang adil bagi petani. Ternyata budaya ancient regime masih kuat mengakar di sektor yang satu ini. Pada saat awal pemerintahan Gus Dur, sebenarnya telah dilakukan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan diberlakukannya bea masuk beras sebesar 30 persen, pada 1 Januari 2000. Kebijakan yang mendahului letter of intent IMF ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak ingin terus didikte IMF. Malah, dalam pembicaraan pertama dengan petinggi IMF, Gus Dur menandaskan agar IMF dalam LoI-nya memberikan perhatian yang besar kepada sektor pertanian. Namun, kebijakan itu tidak didukung oleh para pembantunya. Salah urus dan kolusi-korupsi-nepotisme antara pedagang dan petugas bea cukai mencuat kembali sehingga terjadilah apa yang disebut beras "Spanyol" (separuh nyolong). Pedagang mengimpor 10 ribu ton, tetapi yang dilaporkan hanya separuhnya. Kedatangan kapal yang jumlah tonasenya besar dan serentak tidak memungkinkan berlangsungnya pemeriksaan secara teliti. Akhirnya, loloslah beras dengan cara tahu sama tahu. Budaya ancient regime pun masih tetap terus melekat dalam pengurusan bea cukai. Penanganan beras terlihat tidak terkoordinasi dengan baik, tercermin dari kurang tepatnya beberapa langkah kebijakan yang diterapkan. Seharusnya fungsi koordinator dan perencana pusat lebih dioptimalkan guna memberikan solusi yang benar pada sasaran yang tepat. Sementara sebagian besar petani menjerit, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri sepertinya acuh tak acuh. Kebijakan yang memperlihatkan tidak kompetennya pejabat pengambil kebijakan dan terjadinya kemelut beras kini menunjukkan bahwa budaya ancient regime masih tetap mengakar pada pejabat tinggi kita. Kalau dalam hal beras saja para pejabatnya masih berperilaku seperti itu, apalagi dalam hal komoditi lain? Bila hal seperti ini dibiarkan terus berlangsung, saya khawatir kabinet persatuan dengan para promotornya akan menjauhkan pemerintahan Gus Dur dari petani dan penduduk pedesaan, konstituen pendukung utamanya. Pengangkatan Rizal Ramli sebagai Kabulog merupakan langkah awal perbaikan perberasan kita, meskipun kemampuan teknis beliau lebih terletak di bidang lain. Yang penting bagi saya, Rizal Ramli memang menentang ancient regime . Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |