Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Berbicara Tentang Generasi

Pada dasarnya suatu "angkatan" merupakan suatu "antithesis". kata ini lebih militan daripada generasi. bila "angkatan" dibicarakan, maka secara tersirat ada yang ditolak, didobrak dan dijebol.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIHATLAH pohon-pohon. Mereka bercerita tentang generasi. Bahkan Homerus, penyair Yunani Kuno itu, dalam buku ke-VI cerita besar Iliad beratus-ratus tahun yang silam sudah bisa memetik amsal dari padanya: Sebagaimana generasi daun-daun, begitulah generasi manusia suatu ketika angin mengguncang daunan hingga rontok ke tanah, tapi kemudian hutan yang rimbun melahirkan, dan musim semi hadir. Begitulah generasi manusia, yang berganti-ganti datang dan pergi. Tapi Homerus hanya melihat daun. Padahal pohon selalu punya dua cerita-cerita daun dan cerita kulit. Kita, dari jauh, sering terpesona akan tamasya yang hijau dan rimbun, yang di negeri empat musim, bisa demikian mengasyikkan perubahannya. Suatu ketika merah dan kuning menumpuk. Suatu ketika segalanya runtuh. Suatu saat lain pupus terbit, dan burung menjemputnya kembali. Mungkin karena itu kita melupakan kulit, yang dengan kasar menutupi tubuh pepohonan. Lihatlah dari dekat. Rasanya ada cerita lain: bukan cerita perubahan, tapi cerita sesuatu yang menetap. Bahkan sesuatu yang bertimbun bersama waktu--satu jejak sejarah. Kadang ada tulisan ditorehkan dengan pisau ke sana. Kita tak selalu tahu apa: tapi yang jelas, itu pun sebuah percobaan untuk membikin kekal suatu peristiwa, biasanya indah, tapi sekaligus mungkin tak begitu penting. Pohon-pohon selalu punya dua cerita, cerita daun dan cerita kulit. Jika terlalu lama kita simak daun-daun, dan hanya teringat akan perubahan generasi ke generasi, ada baiknya kita saksikan kulit yang setidaknya memberikan ilusi tentang sesuatu yang permanen. Orang tua mati dan orang muda muncul, tapi barangkali tak segala hal menjadi baru. Mengapa kita harus tenggelam terus dalam pembedaan dan dikhotomi "baru" dan "lama" hanya karena sejumlah orang jadi tua dan meninggal dan sejumlah orang lahir dan jadi dewasa? CERITA seperti Ramayana dan Mahabarata yang kita kenal bukanlah cerita tentang suatu generasi baru dan generasi lama sebagai satuan yang saling terpisah. Bahkan dalam kedua cerita itu, terutama jika kita kenang kisah Pandawa Lima, yang pokok hanyalah satu generasi. Pada akhirnya semua anak para Pandawa gugur dalam perang. Dan sebelumnya tentu kakek mereka sudah pada almarhum. Tetapi toh kita berbicara tentang generasi lama dan baru, seperti Homerus dalam Iliad. Kita berbicara tentang pemuda. Barangkali karena hidup bukanlah cerita wayang: sesuatu yang bisa kita selesaikan sebelum siang hari Dengan kata lain, barangkali karena ternyata kita bukan para Pandawa. Anak kita tak mati. Justru kita yang berangkat mati. Dan juga karena peristiwa di tahun 1928, lalu revolusi di tahun 1945, kemudian perubahan besar di tahun 1965, tiba-tiba menunjukkan bahwa anak-anak itu bisa menutup suatu zaman, seperti merobek kalender. Lalu kita pun berbicara tentang generasi, tentang "angkatan". Yang menarik ialah bahwa pada dasarnya suatu "angkatan" merupakan suatu antithesis. Kata ini bagaimana pun lebih militan ketimbang "generasi". Dan jika kita berbicara tentang "angkatan" dalam sejarah kita, secara tersirat kita sebenarnya berbicara juga tentang sesuatu yang ditolak, didobrak, dijebol. Mungkin tak selamanya jelas, namun pasti masih lebih jelas dari apa yang tidak ditolak dan apa yang diharapkan. Suka atau tak suka kita kini, dengan demikian kita sebenarnya membayangkan sejarah kita sehagai berbagai peristiwa kontradiksi, malahan konflik. Antithesis lebih menojol daripada thesis. Dan karena "angkatan" kita samakan dengan "generasi", melalui suatu proses yang tak kita sadari, diam-diam kita pun membentuk konsep si sejarah yang mirip cerita Oedipus. Cerita Oedipus itu boleh ditafsirkan sebagaimana ditafsirkan oleh Freud: pemberontakan, bahkan pembinasaan sang ayah oleh sang putra. Tapi cerita Oedipus juga bisa diperpanjang, sesuai dengan naskah pujangganya, Sophocles: Oedipus bukan sebgai anak, tapi sebagai bapak. Di sana ia ditinggalkan para putranya, dan dalam keadaan buta mengutuki mereka. Semuanya adalah tragedi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus