Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antara Waswas Dan Ketidaksabaran Kalau Angkatan 45 Sudah Tua

Masalah pergantian generasi dan pimpinan nasional. pendapat beberapa tokoh tentang regenerasi. parpol merasa, kaderisasi tak berjalan normal, sedang golkar menampilkan tokoh muda. angkatan 45 prihatin.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAGASAN itu dilontarkan pertama kali oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo. Berbicara di depan Keluarga Besar Kanwil Deppen Sumatera Utara di Medan 18 Juni lalu, Menpen menyinggung juga tentang masalah kepemimpinan Presiden Soeharto. "Kalau Pak Harto mundur sekarang, dikhawatirkan bangsa Indonesia akan bertempur, akan menciptakan perang saudara," ujar Ali Moertopo. Lanjutnya "Sampai hari ini saya belum melihat adanya orang yang mampu memelihara persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Karena itu kepemimpinan Presiden Soeharto lebih baik diterima dan dilanjutkan sehingga nanti kita mampu melihat adanya satu sistem di Indonesia." Sistem apa? "Yaitu melalui regenerasi yang kira ciptakan terus-menerus dengan sistemnya, dengan mekanismenya, dengan konsepnya dan dengan strukturnya," kata Menpen. Pendapat Menpen Ali Moertopo itu mengundang banyak perhatian. Diucapkan dua tahun sebelum Pemilu 1982, ada yang menduga pendapat itu sengaja dilontarkan sebagai "isyarat" untuk mencalonkan kembali Pak Harto sebagai Presiden. Tapi yang kemudian lebih banyak diberi komentar orang rupanya masalah regenerasi atau pergantian generasi. Dasawarsa 80-an ini memang sudah lama dicanangkan sebagai dasawarsa regenerasi untuk Indonesia. Malah banyak yang menyebut awal dasawarsa ini sebagai 'masa senja' bagi generasi 45. Walau sering diomongkan, toh banyak pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya: Apakah betul kita belum memiliki sistem regenerasi yang baik? Betukah "perang saudara" bisa terjadi di Indonesia, bila regenerasi -- terutama yang menyangkut kepemimpinan nasional -- tidak dipersiapkan secara baik, jauh hari sebelumnya? Sistem apa yang terbaik untuk kita? JUGA muncul pertanyaan-pertanyaan yang mendasar. Bisakah suatu masyarakat dikotak-kotak dalam beberapa generasi? Bagaimanakah sebetulnya penggolongan generasi di Indonesia? Batasan-batasan apa yang membedakan masing-masing generasi? Karena menyangkut kepentingan semua pihak, bisa dimengerti kalau bisa yang menginginkan agar masalah-gantian generasi ini dibicarakan secara terbuka dan terus-terang. Memang tiap pergantian generasi, seperti kata Kapolri Jenderal Pol. Awaloedin Djamin pada peringatan Hari Bhayangkara ke 34 pekan lalu: "senantiasa akan menimbulkan harapan dan sekaligus mengandung kerawanan." Kapolri tidak menjelaskan lebih lanjut, tapi harapan dan kerawanan itu tampaknya memang ada. Generasi 45 agaknya masih merasa was-was untuk menyerahkan ongktiestafet" pada generasi penerusnya. Kagaimana pun, dialam merdeka ini, pergantian generasi seperti baru akan sekali terjadi. Dan sesuatu yang belum terjadi selalu akan dihadapi dengan was-was. Sikap seperti itu sedikit banyak tercermin dalam keputusan Mubenas Angkatan-45 di Palembang Juni lalu, yang meninggalkan istilah "pewarisan jiwa dan nilai-nilai 45 " dan menggantinya dengan "pelestarian jiwa dan nilai-nilai 45 ". Maksudnya, regenerasi itu bukan suatu serah terima jabatan, tapi suatu proses alamiah yang terjadi dengan sendirinya. Untuk memangku jabatan tidak ditentukan oleh umur. Yang diperlukan adalah kemampuan dan loyalitas," kata Ketua DHD Angkatan 45 DKI Jaya Achmadi. Bagi generasi muda, sikap seperti itu bisa memancing kecurigaan. Dan bisa dianggap usaha mempertahankan status quo. "Pewarisan mengandung arti keikhlasan menyerahkan estafet kepemimpinan. Sedang pada istilah pelestarian ada kecenderungan mapan. Ini berarti kan terus mempertahankan kekuasaan," komentar Akhmadi yang lain yang tak lain adalah Heri Akhmadi, 27 tahun, bekas Ketua Umum DM ITB. Namun dalam soal istilah ini rupanya ada perbedaan tafsir. "Regenerasi itu suatu hal yang wajar. Suatu proses ilmiah. Hanya, diperlukan persiapan agar proses itu berjalan smooth," ujar Pangdam III/17 Agustus Brigjen Soelarso pada TEMPO pekan lalu. Soelarso menekankan pentingnya pelestarian nilai-nilai 45 dalam regenerasi itu. "Bukan pewarisan, karena kalau pewarisan ada kesan seolah-olah ada paksaan memberi warisan," katanya. Sedang pelestarian dimaksudnya melestarikan nilai-nilai yang baik. Apa sesungguhya yang disebut nilai-nilai 45 itu? Akhir Juni lalu di Palembang dalam Mubenas Angkatan 45, Presiden Soeharto menjelaskan, nilai-nilai 45 dilahirkan dari perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia selama ratusan tahun yang mencapai puncaknya pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Nilai-nilai tersebut antara lain: anggapan bahwa kemerdekaan nasional adalah milik dan kehormatan bangsa yang tertinggi, rasa harga diri dan percaya pada diri sendiri, anti penjajahan, sikap persatuan yang kuat dan rasa senasib sepenanggungan. Karena merasa lahir, digodok dan ditempat oleh Revolusi 45, bisa dipahami kalangan banyak di antara generasi 45 yang menganggap merekalah yang paling meresapi nilai-nilai tersebut. Hingga timbul kekhawatiran, generasi muda yang kurang ditempa oleh suasana tantangan perang kemerdekaan dan hidup dalam kesederhanaan akan menggelincir lepaskan nilai-nilai 45. Agaknya karena itulah muncul kemudian istilah pewarisan atau pelestarian nilai. Dengan istilah lain, kepemimpinan nasional tampaknya berusaha agar generasi muda mempunyai persepsi politik yang sama dengan generasi 45. Dan itu diusahakan antara lain lewat penataran P4. Tujuannya? Menurut Menmud Cosmas Batubara, 42 tahun, adanya kesamaan persepsi terhadap sistem politik akan membuat regenerasi tidak akan mengalami hambatan yang terlalu berat. "Kalau sudah ada persamaan persepsi, siapa pun yang duduk di DPR atau pemerintahan, permainannya akan enak. Persis main sepakbola. Karena samasama tahu tidak boleh memegang bola, kalau ada yang dihukum karena pegang bola, ya tidak apa-apa," ujar Cosmas, bekas tokoh Angkatan 66 pada TEMPO pekan lalu. Kecurigaan dari generasi muda bisa juga timbul bila suatu angkatan merasa kelompoknya yang paling berjasa. "Regenerasi merupakan perkembangan sejarah dan perjuangan bangsa yang tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya, kata Lukman Hakim, bekas ketua Umum DM UI. Menurutnya. Angkatan 45 hanya kebetulan saja tepat pada moment kemerdekaan. Dan perjuangan itu tidak akan berhasil tanpa generasi sebelumnya seperti generasi 1908 dan 1928. Lukman, 27 tahun, menekankan: setiap anggota masyarakat mempunyai bagian yang sama dalam sejarah perjuangan. "Tidak bisa salah satu generasi mengklaim yang paling hebat dan jagoan. Kebesaran dan keindahan Angkatan itu disadari justru sesudahnya, bukan pada saat berjuang," katanya. MENURUT calon apoteker ini, jangka waktu Angkatan 45 "berkuasa" sudah terlalu lama. Alasannya kemampuan Angkatan 45 sudah tidak bisa mengimbangi aspirasi yang hidup. Diakuinya, tidak ada batas umur untuk menentukan suatu generasi bisa dipertahankan alau tidak. Kemampuan seseorang, kata Lukman, akan menurun setelah mencapai puncak. Sedang aspirasi masyarakat berkembang dan meningkat terus. "Titik temu itu hanya sebentar saja. Bentuk itu diperlukan suatu generasi berikutnya yang mampu menangkap aspirasi yang berkembang itu," ujar Lukman. Dan generasi muda, menurutnya, mempunyai bekal dan kemampuan lebih luas dibanding generasi tua. "Mereka cuma menang pengalaman," ujarnya. Ketidaksabaran seperti itu mungkin ciri dari generasi muda. Dan mungkin itu pula yang mengkhawatirkan generasi tua. Meskipun dapat ditafsirkan, dalam ketidaksabaran itu tersembul juga sikap percaya pada kemampuan sendiri -suatu yang penting untuk menghadapi masa depan. Bagaimana pun juga, generasi baru pasti akan membawa pikiran dan gagasan baru, sekalipun dasar pijakannya akan tetap nilai-nilai yang sama. Seperti pendapat T.A.M. Simatupang (40 tahun), anggota F-PDI. "Pikiran-pikiran baru itu masih harus didasari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945," katanya. Artinya, yang baru bukan nilainya, tapi pandangan-pandangan yang lebih maju dalam merumuskan atau menjabarkan nilai-nilai tersebut. Jadi beralasankah untuk mengkhawatirkan bahwa generasi muda nanti akan melupakan jiwa dan nilai-nilai 45? Karena bukankah faktor kepercayaan berperanan juga dalam proses regenerasi? "Kalau pergantian generasi itu ingin dilewati tanpa melalui revolusi, jalannya adalah dengan memberikan kepercayaan yang lebih besar pada generasi muda mulai dari sekarang," kata Sekjen PDI Sabam Sirait. Caranya ialah dengan memberikan kesempatan pada generasi muda untuk ikut bersama-sama menjalankan roda pemerintahan, hingga perimbangan makin lama makin lebih bert pada generasi muda. "Hendaknya proses ini jangan berjalan seperti siput, pelan -- setapak demi setapak," ujar Sabam. REGENERASI dalam skala yang kecil memang terjadi di Indonesia. Munculnya dua Menteri Muda, Cosmas Batubara dan Abdul Gafur dalam Kabinet Pembangunan sekarang ini sering ditunjuk sebagai bukti. Juga adanya beberapa Dirjen berusia muda lain seperti Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kardjono dan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Midian Sirait. Namun, eselon atas pemerintahan sampai sekarang boleh dibilang masih sepi dari tokoh generasi muda. Adanya Menteri Muda dalam kabinet tidak sepenuhnya memenuhi harapan. "Tujuannya meman kaderisasi, tapi sayangnya maksud itu tidak ditunjang oleh suatu sistem yang jelas," kata Sekretaris FKP Sarwono. Maksudnya, Menmud memang diberi tanggungjawab, tapi tidak jelas batasannya. Malah kadang-kadang berbenturan dengan fungsi, tugas dan tanggungjawab menteri yang dibantunya. Sarwono memberi contoh Menmud Urusan Pemuda membanting tulang mengurus masalah kepemudaan. Sementara itu aparat P&K yang ada hubungannya dengan kepemudaan mempertanggungjawabkan pekerjaan dan menerima tugas dari Menteri P&K. Menurut Sarwono, dulu Golkar pernah mengusulkan agar pemerintah mengangkat Menmud, tapi yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan Deputi Menteri zaman Soekarno dulu, yaitu membantu menteri dan belajar menjadi seorang menteri alias magang. Dia juga dibeti tugas menangani hubungan departemennya dengan lembaga legislatif. Di bidang legislatif, yang terjadi malah semacam "proses penuaan" pada DPR-RI. Seperti ditulis Daniel Dhakidae dalam Prisma Februari 1980, struktur umur anggota DPR hasil Pemilu 1977 menjadi semakin tua dibanding dengan DPR 1971. Di dalam DPR 1971, anggota DPR yang berusia antara 25 - 35 tahun berjumlah 63 orang. Pada DPR 1977 jumlah ini anjlog menjadi hanya lima orang, berarti penurunan sebanyak 92,06%. Nampaknya memang betul, kita belum memiliki sistern dan mekanisme yang memadai tentang regenerasi Dan agaknya cara terbaik untuk memilikinya adalah dengan menbicarakannya dengan terbuka. Akan halnya kapan regenerasi itu akan dilakukan, setelah 1982 atau 1987, itu soal yang kedua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus