Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang "Tuntas" Dan Yang Merangkak

Proses regenerasi dalam parpol, golkar maupun ormas & pendapat dari beberapa tokoh mengenai masalah tersebut. parpol merasa, kaderisasi tak bisa berkembang normal. golkar justru menampilkan tokoh muda.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBICARAKAN regenerasi di Indonesia berarti menelaah regenerasi di dalam ABRI. Itu memang sesuatu yang tak terelakkan, mengingat pentingnya posisi ABRI saat ini. Namun bagaimana dengan regenerasi dalarn kalangan non-ABRI? "Tak ada harapan bagi kepemimpinan sipil pada dekade tahun 80-an ini," ucap Husnie Thamrin, Wakil Sekjen DPP-PPP pekan lalu pada TEMPO Menurut Husnie, dalam sistem politik yang monolitis, regenerasi dalam kelompok sipil tidak bisa berkembang normal. Saat ini, menurut bekas tokoh Angkatan 66 ini, dalam kelompok sipil terdapat semacam sikap tergantung, "bahwa tanpa ABRI kita tidak bisa berbuat apa-apa." Menurut Husnie: "Hal ini sengaja diciptakan." Pendapat Husnie Thamrin itu bisa diperdebatkan. Namun bagaimana pun anggota F-PP itu telah menunjuk adanya kepincangan dalam regenerasi antara ABRI dan non-ABRI. Dan memang tidak bisa disangkal, kaderisasi dalam ABRI berjalan menurut rencana yang disusun rapi dan dilaksanakan dengan presisi militer yang cermat. "Sejak mendaftar dan diterima sebagai taruna AKABRI, perkembangan seseorang sudah disimak. Kalau memang pantas, mereka pasti diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin," kata Danjen AKABRI Letjen Soesilo Soedarman. Hina: "Proses regeneasi di ABRI akan berjalan wajar, alamiah dan melembaga," lanjut Soesilo. Bagaimana dengan sipil? "Setelah revolusi, saya tidak melihat lagi adanya mekanisme kaderisasi yang cukup efektif terutama untuk melahirkan pemimpin dari kalangan sipil," kata Ridwan Saidi, anggota DPR dari F-PP Sebelum 1945, menurut bekas Ketua Umum HMI ini, kita mengenal adanya sistem magang: para pemimpin senior selalu dikelilingi para pemuda yang ingin menimba ilmu dari mereka. Dan para pemimpin semor itu pun tanpa mengenal waktu dan tempat, terus membina para junior. Sistem magang inilah yang memunculkan para pemimpin seperti Soekarno, Moh. Roem dan Adam Malik. Menurut Sekjen PDI Sabam Sirait, ada beberapa faktor lain juga yang menyebabkan pembinaan kader di kalangan parpol terhambat. "Masih tertanam di antara banyak aktivis parpol senior, anggapan, seorang pemimpin akan lahir dengan sendirinya, tidak harus melalui pendidikan yang sistematis," ujarnya. Di samping itu perpecahan yang sering terjadi di dalam tubuh parpol sendiri belum dapat diatasi. Untuk menanggulangi krisis kader partai ini, kata Sabam, parpol harus kembali pad. sistem pengkaderan yang pernah dilakukan sebelum 1945. "Para politikus yang ada sekarang ini harus turun ke bawah, menjadi guru dan mendirikan kursus-kursus politik," katanya. Cuma yang harus dipersoalkan, apakah sistem seperti itu bisa dilaksanakan pada saat ini atau tidak. Dan kalau toh bisa dilaksanakan, apakah hasil kadernya cukup banyak untuk mengejar ketinggalan jumlah kader parpol. Lain di parpol, lain pula di Golkar. "Di Golkar masalah kaderisasi ini sangat diperhatikan," kata Sukardi, Wakil Ketua Bidang Politik F-KP. Menurut Sukardi, sejak dari eselon kepemimpinan paling atas--yakni Dewan Pembina sampai tingkat pimpinan cabang, 30 pengurusnya adalah orang muda. Kaderisasi dilakukan melalui kursus politik yang bertingkat-tingkat. Ada juga yang dititipkan pada penataran-penataran yang diselenggarakan pemerintah. "Bahkan ada yang disengaja dikirim ke luar negeri untuk memperdalam suatu bidang," ujar Sukardi. Kaderisasi dalam Golkar tercermin dalam fraksi mereka di DPR. "F-KP memberi kesempatan orang muda menjadi ketua komisi atau jabatan penting dalam fraksi. Orang-orang tua mengawasinya dari belakang. Dengan diberi kepercayaan semacarn itu, mereka telah dilatih menjadi pemimpin secara langsung," kata Menmud Cosmas Batubara. Ia sebelumnya merupakan tokoh muda dalam F-KP bersama antara lain Sarwono dan Rachmat Witular. Harus diakui, Golkar dengan posisinya saat ini memang mungkin menjalankan kaderisasi massal seperti itu. Di samping hubungannya yang erat dengan pemerintah dan ABRI, memang ada kesan pimpinan Golkar berusaha melakukan pendekatan yang sistematis dalam program regenerasi internnya. Namun ada juga kritik. "Kaderisasi di Golkar kurang bisa menumbuhkan tokoh yang bisa bersikap independen dengan pandangan yang luas. Kebanyakan hanya merupakan tokoh yang TUNTAS," kata seorang tokoh pemuda. Apa itu? "Artinya TUNjukan dari aTAS," ujarnya sambil tertawa. Persoalan Golkar mirip dengan persoalan yang dihadapi PAP (People's Action Party) Singapura: sebagai partai yang berkuasa, ia lebih punya ditarik bgi mereka yang ingin enak ketimbang yang gigih merangkak dari bawah. Bagaimana kaderisasi melalui jalur ormas pemuda? Di Golkar tampak ada usaha membina AMPI sebagai sumber kader. Itu diakui oleh Akbar Tanjung, Ketua Umum DPP KNPI. "Kedua parpol bisa membentuk model serupa yang secara inspiratif adalah onderbouw, " katanya. jadi misalnya GPM (Gerakan Pemuda Marhaenis) dan GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) bisa menjadi wadah inspiratif bagi kader PDI. KNPI sendiri? "KNPI tidak untuk mempersiapkan jenjang karier seseorang," bantah Akbar. KNPI, demikian Akbar, merupakan wadah berkumpulnya berbagai pihak dari latar belakang yang berbeda-beda, yang merasa punya tantangan yang sama, yaitu hari depan yang lebih baik. Idealisme KNPI adalah bagaimana menciptakan elite pimpinan yang mampu melihat persoalan bangsa secara utuh. "Apakah kemudian ia menjadi tokoh PPP, PDI atau Golkar bukan persoalan karena sudah ada persepsi yang sama," kata bekas Ketua Umum HMI ini. Tampaknya pembinaan pemuda masih lebih ditekankan pada kelompok yang berorientasi pada politik saja. Perkembangan menunjukkan, apapun alasannya, buat para pemuda sekarang, ormas seperti itu tampaknya "kurang lalu". Perkembangan yang pesat dari kelompok-kelompok seperti pecinta alam, remaja masjid dan karang taruna menunjukkan kecenderungan ini. "Memang bukan mustahil dari kelompok-kelompok ini nantinya muncul pemimpin politik," kata Ridwan Saidi. Organisasi mahasiswa, yang di masa lalu telah mampu melahirkan banyak kader-kader sipil, belakangan ini makin mundur, sekalipun apa yang disebut latihan kepemimpinan masih terus diadakan. Rupanya ini disadari juga-oleh mereka. Itu tercermin dalam kesimpulan pertemuan Kelompok Cipayung--yang beranggotakan 5 organisasi mahasiswa-Juni lalu. Tiap organisasi, menurut kesimpulan tersebut, harus menjalankan proses kaderisasi dengan memperbaiki sistem, isi dan metode pengkaderan. Hasilnya? Itu masih harus lama ditunggu, karena kaderisasi adalah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Apalagi, jika toh niat dan rencana sudah disusun, masih banyak faktor luar yang ikut menentukan Bagaimanapun, tiap usaha memang harus selalu dicoba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus