MEMBICARAKAN regenerasi di Indonesia berarti menelaah regenerasi
di dalam ABRI. Itu memang sesuatu yang tak terelakkan, mengingat
pentingnya posisi ABRI saat ini. Namun bagaimana dengan
regenerasi dalarn kalangan non-ABRI?
"Tak ada harapan bagi kepemimpinan sipil pada dekade tahun 80-an
ini," ucap Husnie Thamrin, Wakil Sekjen DPP-PPP pekan lalu pada
TEMPO Menurut Husnie, dalam sistem politik yang monolitis,
regenerasi dalam kelompok sipil tidak bisa berkembang normal.
Saat ini, menurut bekas tokoh Angkatan 66 ini, dalam kelompok
sipil terdapat semacam sikap tergantung, "bahwa tanpa ABRI kita
tidak bisa berbuat apa-apa." Menurut Husnie: "Hal ini sengaja
diciptakan."
Pendapat Husnie Thamrin itu bisa diperdebatkan. Namun bagaimana
pun anggota F-PP itu telah menunjuk adanya kepincangan dalam
regenerasi antara ABRI dan non-ABRI.
Dan memang tidak bisa disangkal, kaderisasi dalam ABRI berjalan
menurut rencana yang disusun rapi dan dilaksanakan dengan
presisi militer yang cermat. "Sejak mendaftar dan diterima
sebagai taruna AKABRI, perkembangan seseorang sudah disimak.
Kalau memang pantas, mereka pasti diberi kesempatan untuk
menjadi pemimpin," kata Danjen AKABRI Letjen Soesilo Soedarman.
Hina: "Proses regeneasi di ABRI akan berjalan wajar, alamiah
dan melembaga," lanjut Soesilo.
Bagaimana dengan sipil? "Setelah revolusi, saya tidak melihat
lagi adanya mekanisme kaderisasi yang cukup efektif terutama
untuk melahirkan pemimpin dari kalangan sipil," kata Ridwan
Saidi, anggota DPR dari F-PP Sebelum 1945, menurut bekas Ketua
Umum HMI ini, kita mengenal adanya sistem magang: para pemimpin
senior selalu dikelilingi para pemuda yang ingin menimba ilmu
dari mereka. Dan para pemimpin semor itu pun tanpa mengenal
waktu dan tempat, terus membina para junior. Sistem magang
inilah yang memunculkan para pemimpin seperti Soekarno, Moh.
Roem dan Adam Malik.
Menurut Sekjen PDI Sabam Sirait, ada beberapa faktor lain juga
yang menyebabkan pembinaan kader di kalangan parpol terhambat.
"Masih tertanam di antara banyak aktivis parpol senior,
anggapan, seorang pemimpin akan lahir dengan sendirinya, tidak
harus melalui pendidikan yang sistematis," ujarnya. Di samping
itu perpecahan yang sering terjadi di dalam tubuh parpol sendiri
belum dapat diatasi.
Untuk menanggulangi krisis kader partai ini, kata Sabam, parpol
harus kembali pad. sistem pengkaderan yang pernah dilakukan
sebelum 1945. "Para politikus yang ada sekarang ini harus turun
ke bawah, menjadi guru dan mendirikan kursus-kursus politik,"
katanya.
Cuma yang harus dipersoalkan, apakah sistem seperti itu bisa
dilaksanakan pada saat ini atau tidak. Dan kalau toh bisa
dilaksanakan, apakah hasil kadernya cukup banyak untuk
mengejar ketinggalan jumlah kader parpol.
Lain di parpol, lain pula di Golkar. "Di Golkar masalah
kaderisasi ini sangat diperhatikan," kata Sukardi, Wakil Ketua
Bidang Politik F-KP. Menurut Sukardi, sejak dari eselon
kepemimpinan paling atas--yakni Dewan Pembina sampai tingkat
pimpinan cabang, 30 pengurusnya adalah orang muda. Kaderisasi
dilakukan melalui kursus politik yang bertingkat-tingkat. Ada
juga yang dititipkan pada penataran-penataran yang
diselenggarakan pemerintah. "Bahkan ada yang disengaja dikirim
ke luar negeri untuk memperdalam suatu bidang," ujar Sukardi.
Kaderisasi dalam Golkar tercermin dalam fraksi mereka di DPR.
"F-KP memberi kesempatan orang muda menjadi ketua komisi atau
jabatan penting dalam fraksi. Orang-orang tua mengawasinya dari
belakang. Dengan diberi kepercayaan semacarn itu, mereka telah
dilatih menjadi pemimpin secara langsung," kata Menmud Cosmas
Batubara. Ia sebelumnya merupakan tokoh muda dalam F-KP bersama
antara lain Sarwono dan Rachmat Witular.
Harus diakui, Golkar dengan posisinya saat ini memang mungkin
menjalankan kaderisasi massal seperti itu. Di samping
hubungannya yang erat dengan pemerintah dan ABRI, memang ada
kesan pimpinan Golkar berusaha melakukan pendekatan yang
sistematis dalam program regenerasi internnya.
Namun ada juga kritik. "Kaderisasi di Golkar kurang bisa
menumbuhkan tokoh yang bisa bersikap independen dengan pandangan
yang luas. Kebanyakan hanya merupakan tokoh yang TUNTAS," kata
seorang tokoh pemuda. Apa itu? "Artinya TUNjukan dari aTAS,"
ujarnya sambil tertawa. Persoalan Golkar mirip dengan persoalan
yang dihadapi PAP (People's Action Party) Singapura: sebagai
partai yang berkuasa, ia lebih punya ditarik bgi mereka yang
ingin enak ketimbang yang gigih merangkak dari bawah.
Bagaimana kaderisasi melalui jalur ormas pemuda? Di Golkar
tampak ada usaha membina AMPI sebagai sumber kader. Itu diakui
oleh Akbar Tanjung, Ketua Umum DPP KNPI. "Kedua parpol bisa
membentuk model serupa yang secara inspiratif adalah onderbouw,
" katanya. jadi misalnya GPM (Gerakan Pemuda Marhaenis) dan
GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) bisa menjadi
wadah inspiratif bagi kader PDI.
KNPI sendiri? "KNPI tidak untuk mempersiapkan jenjang karier
seseorang," bantah Akbar. KNPI, demikian Akbar, merupakan wadah
berkumpulnya berbagai pihak dari latar belakang yang
berbeda-beda, yang merasa punya tantangan yang sama, yaitu hari
depan yang lebih baik. Idealisme KNPI adalah bagaimana
menciptakan elite pimpinan yang mampu melihat persoalan bangsa
secara utuh. "Apakah kemudian ia menjadi tokoh PPP, PDI atau
Golkar bukan persoalan karena sudah ada persepsi yang sama,"
kata bekas Ketua Umum HMI ini.
Tampaknya pembinaan pemuda masih lebih ditekankan pada kelompok
yang berorientasi pada politik saja. Perkembangan menunjukkan,
apapun alasannya, buat para pemuda sekarang, ormas seperti itu
tampaknya "kurang lalu". Perkembangan yang pesat dari
kelompok-kelompok seperti pecinta alam, remaja masjid dan karang
taruna menunjukkan kecenderungan ini. "Memang bukan mustahil
dari kelompok-kelompok ini nantinya muncul pemimpin politik,"
kata Ridwan Saidi.
Organisasi mahasiswa, yang di masa lalu telah mampu melahirkan
banyak kader-kader sipil, belakangan ini makin mundur, sekalipun
apa yang disebut latihan kepemimpinan masih terus diadakan.
Rupanya ini disadari juga-oleh mereka. Itu tercermin dalam
kesimpulan pertemuan Kelompok Cipayung--yang beranggotakan 5
organisasi mahasiswa-Juni lalu. Tiap organisasi, menurut
kesimpulan tersebut, harus menjalankan proses kaderisasi dengan
memperbaiki sistem, isi dan metode pengkaderan.
Hasilnya? Itu masih harus lama ditunggu, karena kaderisasi
adalah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Apalagi,
jika toh niat dan rencana sudah disusun, masih banyak faktor
luar yang ikut menentukan Bagaimanapun, tiap usaha memang harus
selalu dicoba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini