BARANGKALI tingkah sekumpulan gelandangan yang memperebutkan sisa makanan di lorong gelap dan pesing di belakang dapur sebuah restoran Cina kalah berisik dibandingkan dengan kericuhan antarpartai politik di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Partai-partai itu mempertengkarkan hampir semua hal. Yang terakhir mengenai cara membagi sisa kursi dengan sisa suara masing-masing.
Sebagian orang berpikir sebab-musababnya ialah karena bangsa kita kurang terampil berhitung dan tidak biasa memakai prinsip ilmu statistik. Akibatnya, banyak dilakukan pokrol-pokrolan dalam mencari dasar pembagiannya. Dasar penghitungannya diubah-ubah, supaya menghasilkan kursi lebih banyak bagi yang mengusulkan atau memberikan jatah satu kursi bagi yang belum memperolehnya (lihat halaman 30).
Rupanya, itu bukan lantaran tak mahir aritmetika, melainkan karena ingin melayani kepentingan rendahan saja. Rasa malu, kalau pernah ada, disisihkan dulu. Mengubah-ubah aturan untuk disesuaikan dengan kepentingan sendiri ini memperlambat proses—kalau bukan menggagalkan—pembentukan DPR baru hasil pemilu. Selain itu, ia bisa merusak sistem pemilu yang ada, sambil melanggar asas hukum yang mengharuskan orang taat pada aturan yang dibuat sebelumnya.
Undang-undang dan aturan-aturan pemilu yang dibuat memang tidak bisa sempurna dan memuaskan. Tapi pegangan harus ada. Pada pemilu ini, sisa suara terjadi akibat ditetapkannya (dan disetujui) sistem pemilihan proporsional dengan memakai provinsi sebagai basis daerah pemilihan dan menetapkan "bilangan pembagi pemilih" bagi setiap kursi yang diperebutkan. Cara ini pasti menghasilkan sisa suara partai yang tak mencukupi syarat bilangan pembagi itu dan, sebaliknya, menyisakan kursi yang belum terbagi.
Ternyata, dalam pemilu lalu, hanya 342 kursi yang terisi dengan memenuhi syarat bilangan pembagi, sehingga ada sisa 120 kursi yang akan dibagi dengan metode penghitungan yang kompleks. Menurut Surat Keputusan KPU Nomor 136, caranya ialah dengan jalan dua tahap. Mula-mula, sisa yang ada dibagikan pada suara gabungan beberapa partai (hasil stembus accoord) yang memenuhi bilangan pembagi di tiap provinsi. Kalau masih bersisa, akan dibagikan satu demi satu menurut ranking atau urutan sisa suara terbanyak. Seharusnya inilah yang dilaksanakan secara konsisten.
Cara ini memang kurang memberikan peluang pada partai gurem, walau untuk mendapatkan satu kursi saja. Tidak aneh kalau ini lalu ditolak. Musyawarah antara pemimpin partai dan KPU untuk penyelesaiannya ternyata macet juga. Akhirnya, diputuskan untuk menetapkannya dengan melalui voting. Kalau caranya sesuai dengan SK KPU Nomor 136 yang didukung, bagus. Kalau tidak, kekacauan yang lebih parah bisa terjadi, yang bukan tak mungkin membubarkan segalanya yang telah dicapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini