HABIBIE yakin sekali bakal terpilih lagi menjadi presiden. Itu misalnya tampak dari pernyataannya ketika ia bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Kuala Lumpur, pekan lalu. Padahal, banyak masalah yang tak bisa diselesaikannya. Taruhlah soal penyelesaian kasus Soeharto, yang tetap mengambang, padahal ini ibarat tiket penting menuju kursi presiden yang kedua. Belum lagi kasus Bank Bali yang menyeret-nyeret namanya.
Presiden kelahiran Parepare ini diduga terkait dengan skandal Bank Bali. Kalaupun tidak terkait secara langsung, setidak-tidaknya Habibie dianggap terlibat lewat peran ''orang-orang dekatnya" dalam skandal yang membuat lembaga internasional IMF dan Bank Dunia mengancam akan menghentikan bantuan finansialnya untuk Republik ini.
Skandal Bank Bali itu sendiri lama-lama semakin membingungkan, kusut, dan makin jauh dari penyelesaian. Aktor utamanya, yaitu bekas pemilik Bank Bali, Rudy Ramli, pekan lalu bahkan mengirim surat ke alamat Presiden Habibie yang isinya membantah bahwa ia pernah ''bersentuhan" dengan Habibie dalam kasus ini. Padahal, sebelumnya, catatan harian bankir itu—diserahkan Rudy Ramli kepada tokoh PDI Perjuangan Dimyati Hartono—sudah beredar luas di masyarakat. Dan di sana jelas jejak-jejak kasus ini mengarah kepada sang Presiden, setidaknya kepada mereka yang sekarang disebut pers sebagai all the president's men.
Sulit untuk mengatakan bahwa Rudy Ramli dengan ikhlas menulis surat itu kepada Presiden Habibie. Lebih sulit lagi untuk dipahami, jika benar itu surat pribadi dari seorang bankir kepada Presiden, ada urusan apa surat itu kemudian dibacakan dan dibagikan kepada pers oleh Menteri-Sekretaris Negara merangkap Menteri Kehakiman Muladi? Hebat betul Rudy Ramli dan, sebaliknya, ''konyol" betul seorang menteri yang bisa disuruh-suruh membagikan surat pribadi oleh seorang bankir. Surat Rudy Ramli itu mengesankan bahwa ia ''menghapus jejak" Habibie dalam kasus Bank Bali. Itu sungguh sangat bertentangan dengan ''catatan harian" yang jelas menyebut pertemuan Rudy Ramli dengan Habibie di kediaman presiden.
Dalam ''catatan harian" sebelumnya, Rudy Ramli juga mengaku bertemu dengan Timmy Habibie dan berbicara masalah dana yang mengalir ke kas Tim Sukses. Yang dimaksud Tim Sukses tentulah tim yang belakangan giat bekerja, mengumpulkan dana, dan menggalang dukungan untuk mengantar Habibie ke kursi RI-Satu dalam Sidang Umum MPR mendatang. Dalam tim ini ada Muladi dan Menteri Tanri Abeng.
Nah, di jajaran inilah ada seseorang yang bernama Ahmad Arnold Baramuli, sehari-hari Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Tokoh ini sangat loyal kepada sang Presiden, yang kebetulan berasal dari satu wilayah, Sulawesi Selatan. Bahkan, A.A. Baramuli adalah ''pembela habis-habisan" B.J. Habibie.
Sebenarnya, karir politik tokoh Golkar yang bekas jaksa ini sudah surut ketika B.J. Habibie naik sebagai wakil presiden. Tapi, begitu Habibie ''mendadak sontak" menjadi presiden, Baramuli pun berkibar. Ia masuk ke DPA, pos yang biasanya merupakan pengabdian terakhir bekas pejabat tinggi negara. Ia terpilih menjadi Ketua DPA dan di sana ia memainkan perannya sebagai orang dekat Habibie. Sebagai politisi, Baramuli sebenarnya lumayan. Selain empat periode menjadi anggota DPR, dialah yang membongkar kasus megakorupsi Bapindo yang melibatkan Eddy Tansil dan para pejabat negara itu.
Sebagai Ketua DPA, Baramuli punya kontak langsung dengan Habibie. Setiap minggu, ada pertemuan resmi antara DPA dan Presiden. Tak jarang, kebijakan Presiden Habibie dilontarkan ke masyarakat lewat Ketua DPA Baramuli. Nama lelaki dari Pinrang ini pun setiap hari muncul di koran. Baramuli tak peduli ketika banyak orang mengkritik cara kerja DPA yang ''bersemangat" itu. Dan ia pun tak pernah tanggung-tanggung dalam membela Habibie. Ia kerahkan semua cara dan dana untuk mendukung presiden sedaerahnya itu. Ia menyumbang besar untuk kemenangan Golkar dalam pemilu lalu. Sampai-sampai ia sempat diprotes lawan politiknya karena dianggap mempraktekkan politik main uang (money politics) di wilayah Sulawesi. Tapi Baramuli menangkis hal itu. Lewat seorang adiknya, ia menyatakan bahwa sumbangan kepada pesantren dan lembaga agama sepanjang pemilu itu adalah sumbangan keluarga Baramuli, tak ada kaitannya dengan money politics.
Dari mana keluarga Baramuli mendapatkan uang? Semua orang mafhum bahwa keluarga itu memang mempunyai grup usaha yang dulunya cukup mapan, yaitu Poleko Group. Tapi rupanya, belakangan, grup usaha ini remuk-redam juga oleh krisis. Ada kabar bahwa utangnya ke bank menumpuk dan kini keluarga Baramuli harus berurusan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menyelesaikan utang macetnya itu. Semula Baramuli menolak disebut punya utang besar. Bahkan, dengan agak berseloroh, ia menantang wartawan TEMPO untuk membuktikan utang itu, dan ia akan memberikan Rp 100 miliar bila itu bisa dibuktikan.
Jika benar Baramuli punya utang bermasalah yang sampai berurusan dengan BPPN, pantaslah ia menjagokan Habibie sebagai presiden kembali. Setidak-tidaknya ia tak perlu pusing membayar utang itu sekarang, atau bisnisnya tetap bertahan kelak karena ditunjang oleh kroni kekuasaan.
Adakah karena itu Baramuli menjadi operator mesin politik Habibie? Ia memang memosisikan diri seperti itu, walau barangkali belum bisa disejajarkan dengan Ali Moertopo di zaman Soeharto atau Soebandrio di zaman Sukarno. Yang jelas, sebagai operator, Baramuli adalah motor gerakan penyingkiran Marzuki Darusman dan kawan-kawan dari Golkar. Dan ia melakukan itu dengan terang-terangan. Sebagai wakil koordinator penasihat Golkar untuk wilayah Indonesia timur, Baramuli berhasil menggalang dukungan untuk Habibie dengan apa yang disebut Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan), suatu penggalangan yang boleh jadi di masa depan menjadi bibit disintegrasi bangsa.
Kita sulit untuk memprediksi apa yang terjadi di Sidang Umum MPR nanti dengan tokoh-tokoh politik seperti ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini