MEMANG, tidak semua perguruan tinggi masih menyelenggarakan perploncoan, yang kini disebut ospek, singkatan dari orientasi studi pengenalan kampus. Banyak perguruan tinggi yang sudah menyelenggarakan acara perkenalan dengan cara-cara yang sehat, nalar, dan yang lebih penting lagi, bermanfaat. Misalnya, mengadakan seminar-seminar di antara mahasiswa, diskusi untuk melatih bicara dan kepemimpinan, atau berkeliling kampus agar betul-betul mengenal kampus yang akan mereka tempati untuk belajar. Tentu saja kegiatan ini tidak akan menimbulkan ekses negatif. Orang tua mahasiswa pun bisa tidur nyenyak mendengar anaknya memasuki program ospek.
Tapi, harus diakui pula, gaya perploncoan masih digemari di berbagai perguruan tinggi, sampai saat ini. Walau namanya sudah ospek, perploncoan, yang populer pada 1970-an itu, tetap saja dipakai. Mahasiswa baru digunduli, yang mahasiswi rambutnya dikepang dengan untaian-untaian yang memalukan—kadang menjijikkan. Tiap hari mahasiswa baru itu dijemur, disuruh tiarap, disiram, ditendang, digebuki. Ini kalau mereka tidak patuh kepada seniornya. Dan, celakanya, ukuran kepatuhan itu ditentukan sendiri oleh para seniornya. Walau diakui belakangan ini perploncoan "lebih berbudaya"—pada masa lalu, cerita perploncoan lebih seram lagi—sebuah pertanyaan layak diajukan: untuk apa, sih, semua ini? Mahasiswa itu bukan harus dilatih fisik sebagaimana taruna Akademi Militer pada tahap awal, yang dikenal dengan masa-masa "kawah candradimuka". Apa yang diharapkan dari acara yang hanya menyalurkan naluri kesewenang-wenangan dengan pola-pola militer ini? Tak ada. Kecuali, bagi mahasiswa baru yang selamat menempuh masa itu, ia mewarisi satu hal: "Awas, gue balas tahun depan." Dan ketika tahun depan itu tiba, dialah yang menjadi senior yang punya keabsahan untuk menggebuk mahasiswa baru. Begitu seterusnya. Dendam diturunkan dan diwariskan setiap tahun.
Cara-cara begini sudah saatnya diakhiri. Bukan saja bertentangan dengan asas-asas pendidikan—apalagi kalau bicara HAM dan sebagainya—perploncoan model begini menjadi tidak sejiwa dengan gerakan mahasiswa yang turun ke jalan memperjuangkan demokrasi. Mahasiswa yang ke jalan-jalan itu sangat antikekerasan, mereka selalu tak bisa terima perlakuan tentara jika pihaknya ditendang atau digebuk. Tetapi, kenapa di kampus-kampus, mahasiswa yang dianggap senior berlaku seperti tentara terhadap mahasiswa baru? Ironis.
Sudah semestinya pimpinan kampus turun tangan lebih aktif untuk mencegah perploncoan, agar korban-korban tidak jatuh setiap tahun. Dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya membuat keputusan yang jelas soal masa orientasi studi ini, tidak sekadar kebakaran jenggot begitu ada mahasiswa baru mampus di arena perploncoan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini