Desentralisasi, sebagai pendelegasian kekuasaan politis dan administrasi, bisa berbentuk federalisme ataupun otonomi. Itu berlaku untuk semua daerah dalam satu negara ataupun hanya untuk wilayah tertentu, seperti Zanzibar di Tanzania atau Hong Kong dan Makau di Cina. Baik di negara federasi maupun kesatuan, pemerintah pusat bisa mempunyai yurisdiksi khusus atas sebuah wilayah istimewa. Misalnya area reservasi untuk suku Indian di Amerika Serikat dan Kanada.
Desentralisasi bisa meredam konflik politis dengan memberi alternatif pembagian ke-kuasaan. Salah satu efek sampingnya adalah memberi tempat bagi identitas-identitas "subnasional" di dalam identitas nasional. Desentralisasi juga menyediakan ruang bagi daya tawar antaretnis, dan memberi bobot politis bagi sebuah masyarakat yang tadinya tak punya kekuatan, sehingga menghapus perasaan diabaikan dalam sistem nasional sebuah negara.
Liberalisme dan Komunisme
Bentuk-bentuk desentralisasi berbeda-beda di setiap sistem ekonomi-politik. Di Swiss, sebagai "wakil" sistem liberal, ada tiga bahasa utama (Jerman, Prancis, Italia) dan dua agama utama (Katolik dan Protestan). Tapi yang lebih mewarnai bangsa ini adalah tradisi lokal, dengan kondisi topografinya yang unik. Swiss terbagi atas 26 distrik (canton), yang lebih didasarkan pada perbedaan tradisi (kecuali di distrik Jura, yang seluruhnya berbahasa Prancis, atau Bern, yang berbahasa Jerman).
Tradisi lokal dan otonomi dihidupkan dengan penyebaran yang adil dalam badan legislatif dan eksekutifnya. Penyebaran etnis yang proporsional juga berlaku dalam angkatan bersenjata. Negosiasi, dengar pendapat, dan bentuk-bentuk pembagian kekuasaan yang terbuka jadi aspek utama dalam sistem Swiss. Cara ini memang bisa memperlambat sejumlah urusan. Tapi sistem ini justru memperkuat negara karena kaum minoritas pun memiliki percaya diri yang besar.
Di blok komunis, federalisme didasari perbedaan etnis. Tapi negara-negara yang bisa jadi contohnya?Uni Soviet, Yugoslavia, dan Chekoslovakia?sudah bubar. Chekoslovakia sempat memakai sistem federal pada 1969, setelah berpuluh tahun sebagai negara kesatuan. Namun ciri pokoknya tetap menonjol: dominasi partai komunis.
Teori federalisme komunis didasari paham Marxis-Leninis tentang kemampuan nasional menentukan nasib sendiri. Teori ini terbentuk di masa revolusi Rusia, saat kekaisaran roboh. Mereka yang ingin bergabung dalam negeri sosialis baru Rusia diberi hak mengelola kebudayaannya serta berbagai kebijakan. Bahkan mereka diberi pilihan memisahkan diri. Tapi sebenarnya teori ini malah berlawanan dengan Marxisme. Berbagai kebijakan dibuat seakan untuk menunjang federalisme, meski sebenarnya untuk meniadakan sistem itu sendiri.
Pembentukan Yugoslavia dilandasi rasa kebersamaan identitas Slavia (kendati hal ini mungkin hanya terdapat pada segelintir cendekiawan). Perbatasan tiap daerah dibuat hanya untuk menandai wilayah kelompok etnis?kecuali untuk Bosnia-Herzegovina, yang tak hanya dihuni satu etnis.
Federalisme di kedua negeri itu dipakai sebagai alat untuk merangkul pemimpin-pemimpin etnis serta masyarakatnya dan untuk meredam perlawanan dari mereka. Ketidakselarasan antara sentralisme partai dan federalisme etnis terus dipertahankan selama partai masih bisa berkuasa. Akhirnya, cara kontradiktif dalam menangani keragaman etnis inilah yang membuat mereka ambruk, meski pemicunya adalah kegagalan ekonomi. Federalisme digantikan oleh separatisme.
Dunia Ketiga
Dunia Ketiga, yang sarat konflik etnis, diperkirakan memilih federalisme sebagai solusi. Tapi kenyataannya tidak begitu, kendati pada awalnya gagasan ini sangat menarik bagi para penguasa untuk menyatukan daerah-daerah koloninya. Konsep ini tampak bagus bagi minoritas untuk menjamin keamanan mereka, atau sebagai cara untuk hidup berdampingan antarkelompok etnis. Tapi kelompok mayoritas melihat federalisme sebagai ancaman, karena mereka tidak rela berbagi kekuasaan negara.
Bagaimana dengan desentralisasi corporate? Satu bentuknya membagi kursi-kursi parlemen, tapi ini sudah lama dibuang karena dianggap memacetkan integrasi politik dan sosial. Fiji bisa jadi contoh menarik. Tadinya desentralisasi dipakai untuk memudahkan kontrol politik dan administrasi oleh Inggris. Tapi kemudian berkembang sebuah "administrasi Fiji", yang mengambil alih beberapa urusan pribumi Fiji, berbentuk gabungan sistem tradisional Fiji dan administrasi Inggris. Jadi, seperti sebuah negara di dalam negara.
Desentralisasi memang tidak bisa digeneralisasikan. Selain berwujud setumpuk peraturan dan pengelolaan, sistem ini juga merupakan sebuah sikap. Contoh-contoh tersebut menunjukkan, pengaturan yang sama bisa memberi hasil lain di negara-negara berbeda. Penyelenggaraan federalisme tidak niscaya menghasilkan sikap federal.
Keberhasilan desentralisasi juga harus dilihat dari berbagai sisi. Ia bisa dihitung dari berhasilnya sistem ini meringankan krisis jangka pendek yang menciptakan kebutuhan desentralisasi itu, bisa pula diukur dari kepentingan jangka panjang. Desentralisasi bisa menguatkan identitas lama, bahkan bisa juga membentuk wajah-wajah baru identitas sebuah bangsa.
(Disarikan dari Yash Ghai, Decentralization and Accommodation of Ethnic Diversity, dalam Crawford Young (Ed), Ethnic Diversity and Public Policy: A Comparative Inquiry, St. Martin Press & UNRISD, 1998)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini