Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berseteru Soal Hasil Pemilu

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilihan umum (pemilu) presiden dan anggota legislatif, fase pemilu beranjak ke sengketa atau perselisihan hasil pemilu.

27 Mei 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga memasukkan surat suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Sawah Besar, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 April 2019. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ikhsan Darmawan
Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di Kent State University, Amerika Serikat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilihan umum (pemilu) presiden dan anggota legislatif, fase pemilu beranjak ke sengketa atau perselisihan hasil pemilu. Sengketa hasil pemilu merupakan hal yang "lumrah" dan konstitusional. Sebelumnya, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sempat menyatakan tidak akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun pada akhirnya mereka berubah pikiran dan mengajukan gugatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah keseluruhan pemohon yang mendaftar ke Mahkamah untuk Pemilu 2019 (325 pemohon) lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu 2009 (628 pemohon) dan Pemilu 2014 (903 pemohon). Namun hal ini menunjukkan masih banyak kandidat yang tidak puas terhadap hasil pemilu, yang tetap memilih jalur ini. Meskipun sengketa hasil pemilu berada di ranah hukum dan dikelola oleh lembaga hukum, putusan yang dihasilkan merupakan keputusan politik yang sekaligus dapat memeriksa bagaimana kinerja para penyelenggara pemilu sehingga jalur ini tetap banyak dipilih.

Studi-studi sebelumnya tentang sengketa hasil pemilu berfokus pada sengketa hasil pemilu sebagai mekanisme untuk menjaga kualitas dan integritas pemilu secara umum (Autheman 2004; Hopwood dan Shejapali 2015; Norris 2014a, 2014b). Artikel ini ingin berkontribusi terhadap studi sengketa hasil pemilu karena secara spesifik dikaitkan dengan fungsi sengketa hasil pemilu untuk mengevaluasi kinerja penyelenggara pemilu.

Secara teoretis, Holly Ann Garnett (2019, 1) berpendapat bahwa bagaimana kinerja penyelenggara pemilu dalam berurusan dengan sengketa pasca-pemilu memiliki peran penting dalam mempromosikan integritas pemilu. Saya sependapat dengan Garnett. Sebab, apabila kinerja penyelenggara pemilu baik, dengan sendirinya sengketa yang tidak berhasil dibuktikan di hadapan pengadilan akan cenderung tidak dikabulkan. Sejalan dengan itu, menurut McLoughlin (2016), keadilan pemilu yang ditegakkan dengan baik dapat meminimalkan pengajuan sengketa pemilu.

Gugatan terhadap hasil pemilu diajukan ke MK sebagai lembaga hukum. Meskipun merupakan lembaga hukum, putusan MK adalah keputusan politik. Sebab, putusan MK dapat mengkonfirmasi atau membatalkan hasil pemilu yang sebelumnya diputuskan oleh penyelenggara pemilu. Pasal 473 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa perselisihan hasil pemilu legislatif ataupun presiden mencakup perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi penetapan hasil kedua pemilihan tersebut.

Gugatan ke MK dapat diterima atau ditolak, atau-dengan kata lain-penggugat dapat menang atau kalah. Mengapa penggugat tetap mendaftarkan gugatan meskipun sedikit-banyak terdapat peluang untuk mengalami kekalahan? Tim BPN Prabowo-Sandi, lewat Dahnil Azhar, menyebutkan BPN awalnya tidak yakin dengan lembaga hukum. Namun karena ada desakan dari sejumlah pihak di daerah terkait dengan kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis, masif, dan brutal, akhirnya BPN memutuskan untuk mengajukan gugatan ke MK (Sindonews, 21 Mei). Meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang penyelenggara pemilu, apa yang dimaksud oleh perwakilan BPN tersebut tentu bertalian dengan kinerja penyelenggara pemilu. Dengan mengajukan gugatan ke MK, mereka memiliki kesempatan menunjukkan bagaimana bukti kecurangan yang mereka maksud.

Di samping itu, pengajuan gugatan ke MK tidak selalu pasti akan kalah, melainkan juga bisa menang. Dalam konteks pemilihan presiden, memang belum pernah terjadi perkara hasil pemilu dikabulkan oleh MK. Namun, untuk konteks pemilihan legislatif, pada Pemilu 2014, 23 dari 903 perkara yang didaftarkan dikabulkan oleh MK. Dari 23 perkara itu, 13 perkara diperintahkan untuk penghitungan ulang dan 10 perkara lainnya membatalkan keputusan KPU (Kompas, 1 Juli 2014). Putusan MK yang mengabulkan sejumlah gugatan pemohon dapat menjadi indikator bahwa terdapat kinerja penyelenggara pemilu dalam kasus yang dikabulkan oleh MK yang perlu dievaluasi.

Sebagai penutup, perseteruan hasil pemilu memang bertujuan utama mengubah hasil pemilu yang telah ditetapkan. Namun proses dan putusan sengketa hasil pemilu juga dapat berperan mengevaluasi performa penyelenggara pemilu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus